Jumat, 16 September 2016

Analisis Karya Sastra dengan Pendekatan Feminisme

Diposting oleh Riska Febryanti di 01.46 0 komentar
KETIDAKADILAN GADIS AKIBAT PERBEDAAAN GENDER DALAM NOVEL GADIS PANTAI
Karya: Pramoedya Ananta Toer
Riska Ida Febriyanti
201510080311053
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang

Latar Belakang
Karya sastra digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini merupakan salah satu faktor penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur imajinasi. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial yang mungkin atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Paham tentang wanita sebagai orang lemah lembut dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif dan sejenisnya selalu mewarnai sastra kita. Ada pula ketika sastrawan pria bicara tentang perempuan sering tersurat pemojokan-pemojokan. Nasib perempuan pada pihak yang “minus” atau negatif, bahkan sering sampai ketitik sengsara batin. Perempuan hanya sekadar objek. konsep ini telah membelenggu hingga mendorong perempuan kesudut keterpurukan nasib. Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan.
Karya sastra yang saya kaji dalam penelitian ini adalah novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer tahun 2003. Novel ini saya pilih untuk dikaji karena novel ini mengangkat masalah perempuan di kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang pada zaman penjajahan Belanda. Dalam novel ini, pembaca dihadapkan pada ketidakadilan yang dialami oleh perempuan pada zaman penjajahan Belanda. Melalui karya sastra ini pengarang memberikan refleksi kepada pembaca tentang ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan rakyat miskin pada masa itu tanpa dapat melakukan pembelaan. Dalam penelitian ini, saya menggunakan kajian sastra feminis, dengan mempertimbangkan segi-segi feminism. Novel Gadis Pantai ini menurut pengarangnya menggambarkan masyarakat Jawa, antara kaum priyayi dan rakyat jelata pada masa penjajahan dulu. Novel ini menampilkan tokoh utama yang memiliki jiwa penurut, tidak menentang perkataan orang tuanya.
A.    Ketidakadilan Perempuan Sebagai Anak
Perempuan juga sebagai anak dalam sebuah keluarga juga sangat berperan. Dalam usia belasan tahun ini, Gadis Pantai dinikahkan dengan seseorang yang belum dikenalnya. Posisi perempuan sebagai sebuah properti yang pindah tangan dari kepemilikan bapak menjadi milik suami tampak pada bagian awal cerita. Umumnya perempuan sebagai anak adalah menurut terhadap segala keinginan orang tuanya, dan tidak dapat menolak. Seperti dalam novel gadis pantai dalam kutipan berikut.
“Maka pada suatu hari perutusan seseorang itu datang ke rumah orangtua gadis. Dan beberapa hari setelah itu sang gadis harus tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya, kampungnya sendiri dengan bau amis abadinya. Ia harus lupakan jala yang setiap pecan diperbaikinya, dan layar tua yang tergantung di dapur, juga bau laut tanahairnya.” (Gadis Pantai:12)

B.     Ketidakadilan Perempuan Sebagai Budak
Perempuan sebagai budak seringkali di sia-sia, harus mematuhi segala perintah majikannya dan tidak diperkenankan menjawab segala sesuatu dengan seenaknya, dalam novel ini perempuan sebagai budak hanya diperbolehkan menyebutkan aku itu dengan “sahaya” dan terlihat pada kutipan berikut.
“Sahaya?”
Kembali bujang itu tertawa terkekeh ditekan. Membenarkan. “Pada aku ini Mas Nganten tidak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Gadis Pantai:27)


“Dirampasnya anak sahaya, dirampasnya suami sahaya. Dan suami sahaya yang kemudian. Ke mana lagi perginya sahaya ini, kalau sudah tidak sanggup lagi layani Bendoro?” (Gadis Pantai:97)

C.    Ketidakadilan Perempuan Sebagai Orang Kampung
Perempuan diperlakukan tidak adil hanya karena berasal dari kampung dan diperlakukan semena-mena seperti dalam kutipan berikut ini.
Kembali Gadis Pantai bertanya, “Jadi, aku bukan istri Bendoro?”
“Istri, ya, istri, Mas Nganten, Cuma namanya istri percobaan.’
“Lantas kau dapat perintah mengusir aku, biar Bendoromu dapat kawin dengan wanita berbangsa, bukan? Ah, ah, aku bisa menetap di kampung ini, kampungku sendiri. Kau boleh pulang. Jangan ikut masuk kampung”. (Gadis Pantai:156)

“Lantas, apa saja yang ada dalam kehidupan Mas Nganten?”
“Setelah lebih dari dua tahun tinggal di gedung, tahulah aku, kami Cuma punya kemiskinan, kehinaan, dan ketakutan terutama pada orang kota. Di kampung kami tahu benar tepung udang dibayar sebenggol, padahal mestinya empat sen. Itu tidak layak, tidak adil. Tapi lihatlah diriku ini. Bukan lagi tepung udang. Manusia! Aku tak bisa dipungut begitu saja dari kampung, di simpan di dalam gedung. Kau, kau orang kota, apa yang kau tahu tentang orang kampung?” (Gadis Pantai:157)
Daerah asal Gadis Pantai dianggap begitu rendah oleh Bendoro.
“… Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai ini. Sama saja. Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka miskin.” (Gadis Pantai:41)

“Bendoro sahaya, ya, Bendoro sendiri”
“Dan aku?”
“Ah, Mas Nganten. Mas Nganten kan orang kampung?” (Gadis Pantai:124)


D.    Ketidakadilan Perempuan Berdasarkan Kelas Sosial
Dalam novel Gadis Pantai, tokoh Bendoro mewakili priyayi Jawa. Bendoro mengambil Gadis Pantai untuk menjadi teman seranjangnya saja. Dan Gadis Pantai disini sebagai perwakilan rakyat kecil yang hidup dalam kelemahan serta tidak berdaya melawan konstruksi social pada masa itu. Bendoro meminang Gadis Pantai hanya dengan sebilah keris dalam kutipan berikut ini.
“ kemarin malam  ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu , kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris. Wakil seseorang yang tak pernag dilihatnya hidup.” (Gadis Pantai: 12)

“Kau pikir apa kami ini? Orang kampung? Orang dusun? Orang pantai yang tak pernah lihat duit?”
“Apa ini semua maksudnya menghina kami?” yang lain lagi menyerang (Gadis Pantai:112)

Ketidakadilan karena status juga sangat mencolok dalam kehidupan perempuan budak. Ketika berkata jujur dan ingin menolong namun malah diusir seperti dalam kutipan berikut.
“Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakkan kaki di rumah ini, jangan pula di pekarangannya”
“Sahaya, Bendoro” (Gadis Pantai:120)

Dengan adanya ketidakadilan seorang berkelas atas dan kelas bawah menjadikan adanya deskriminasi yang menjadikan seseorang tidak layak karena status yang dimiliki tidak sama. Seperti dalam kutipan berikut.
“… itu tidak layak bagi wanita utama, Mas Nganten. Wanita utama cukup menggerakkan jari dan semua akan terjadi. Tapi sekarang ini, sahaya inilah yang mengurus Mas Nganten. Sebelum Bendoro memberi izin, Mas Nganten belum bisa bertemu. Mari sahaya mandikan. Pakai selop itu” (Gadis Pantai:28)

Dan juga perbedaan kelas inilah yang memberikan jurang pemisah sehingga perempuan golongan kelas atas tidak boleh berteman dengan yang tidak sederajat seperti dalam kutipan.
“Dan sekarang Gadis Pantai mulai tertegun. Ia mulai mengerti, disini ia tak boleh punya kawan seorang pun yang sederajat…..” (Gadis Pantai:46)

Ketika seseorang menjadi kalangan bangsawan maka emaknya pun juga berbeda kelas dengan Gadis Pantai.
“Biarlah emak kawani aku di sini, kalau aku tidak boleh tidur di kamar dapur.”
“itu tidak layak bagi wanita utama”
“dia emakku, emakku sendiri mbok”
“Begitulah Mas Nganten, biar emak sendiri, kalau emaknya orang kebanykan, dia tetap seorang sahaya” (Gadis Pantai:58)


E.     Ketidakadilan Perempuan Sebagai Istri
Pada kenyataan sebenarnya perempuan sebagai istri adalah melayani suami, dengan cinta dan kasih saying istri. Dalam novel ini istri hanya diizinkan untuk menurut saja pada Bendoro. Karena ini tidak seperti suami-istri  namun seperti budak dan majikan.
“Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang pada dia?” (Gadis Pantai:14)

Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa sebagai istri hanya menganut oleh kebaikan suami. Jika suami baik istri juga akan baik begitu pula sebaliknya. Disini dijelaskan bahwa tidak adanya keadilan jika suami buruk namun istrinya yang baik akan tetap buruk pula.
“… Dalam beberapa minggu ini setapak demi setapak ia dipimpin untuk mengerti bahwa satu-satunya yang ia boleh dan harus kerjakan ialah mengabdi pada Bendoro, dan Bendoro itu tak lain dari suaminya sendiri” (Gadis Pantai:67)

Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa tugas Gadis Pantai sebagai istri hanya mengabdi layaknya budak kepada Bendoro.
“Perempuan ini diciptakan ke bumi, Mas Nganten, barangkali memang buat dipukul lelaki. Karena itu jangan bicarakan itu Mas Nganten. Pukulan itu apalah artinya kalau dibandingkan dengan segala usaha buat bininya, buat anak-anaknya. Kalau saja Tuhan dulu mengurniakan sahaya anak ...” (Gadis Pantai:95)
Kutipan tersebut menjelaskan sebagai istri harus pasrah dengan apa yang dilakukan suami meski harus dipukul sekalipun. 
“Tapi kau anaknya, kau bukan hanya istriku”
“Sekarang ini kewajiban sahaya adalah mengabdikan diri pada Bendoro. Orangtua sahaya dapat menolong diri sendiri tanpa sahaya, Bendoro” (Gadis Pantai:108)
“Subuh hari waktu ia terbangun, didengarnya suara Bendoro yang sedang mengaji. Suamiku! Ah, Suamiku! Tidak, dia bukan suamiku, dia Bendoroku, yang dipertuanku, rajaku. Aku bukan istrinya. Aku Cuma budak sahaya yang hina-dina” (Gadis Pantai:248)

F.     Ketidakadilan Perempuan Sebagai Ibu
Perempuan sebagai ibu sudah tentu sangat menyayangi anaknya dan rela melakukan apapun agar anaknya bahagia dan hidup lebih baik dari ibunya. Dalam novel ini ada kutipan sebagai berikut.
“Tapi anak ini, anak ini, dia akan bernasib lebih baik dari ibunya. Dan takkan dilahirkan di sebuah kampung nelayan ...”(Gadis Pantai:249)

Adapun ketidakadilan perempuan sebagai ibu adalah ketika anaknya adalah perempuan. Karena dalam kalangan priyayi anak laki-lakilah yang akan didambakan.
“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?”
“Sahaya, Bendoro”
“Jadi Cuma perempuan?” (Gadis Pantai: 253)

Kutipan diatas menjelaskan bahwa Bendoro meremehkan Gadis Pantai yang hanya melahirkan anak perempuan, karena perbedaan gender laki-laki dan perempuan sangat mencolok. Laki-laki bisa melakukan segala hal sedangkan perempuan tidak.
“Sahaya adalah emaknya, sahaya yang hina ini, tuanku. Bagaimana sahaya harus urus dia di kampung nelayan sana?.......”
“Aku tak suruh kau asuh anakku”
“Haruskah sahaya pergi tanpa anak sahaya sendiri, tuanku?” (Gadis Pantai: 257)


Kutipan tersebut menjelaskan bahwa ketidakadilan gender pada perempuan juga terlihat ketika Bendoro menyuruh Gadis Pantai untuk meninggalkan anaknya sehingga Gadis Pantai tidak diperkenankan membawa darah dagingnya sendiri.
“Lupakan bayimu, anggap kau tak pernah punya anak” (Gadis Pantai:258)

Perempuan sebagai ibu yang sangat menyayangi anaknya selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada anaknya. Ia rela kehilangan segalanya. Seperti kutipan berikut.
“Apa yang takkan kuberikan kepadamu, nak? Apa yang takkan kukurbankan? Sekarang, sekarang hakku sebagai ibumu pun kurelakan buat kau!” (Gadis Pantai: 259)
“Kau bijaksana nak, Memang tak patut seorang ibu dibatalkan haknya sebagai ibu. Tidak patut. Tidak patut!...” (Gadis Pantai:260)
“Bayi ini anakku bapak, aku rela diperintahnya” (Gadis Pantai:261)
“… Dia butuhkan dada emaknya, Ah, besok dia takkan minum susu emaknya lagi. Bapak tak mengerti ini?” (Gadis Pantai: 262)

Ketidakadilan perempuan sebagai ibu yang menginginkan kebahagiaan bersama anaknya pun terlihat dengan adanya kutipan yang menerangkan bahwa Gadis Pantai dituduh maling, maling anaknya sendiri seperti berikut ini.
“Semua kutinggal di kamar. Aku Cuma bawa anakku sendiri. Cuma anakku sendiri” kakinya menyepak tapi bujang-bujang lain mendesak
“Maling!” bentak Bendoro (Gadis Pantai: 264)

Kesimpulan
Terjadinya ketidakadilan gender dalam masyarakat disebabkan karena nilai budaya yang sudah mengakar dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, terutama di Indonesia. Dengan adanya ketidakadilan inilah menyebabkan adanya deskriminasi terhadap perempuan seperti kekerasan, pelecehan dan beban kerja yang berat bagi perempuan
Dalam novel Gadis Pantai, Pramoedya menunjukan kelemahan akar budaya yang salah, dimana dalam konstruksinya perempuan menjadi korban utama nilai-nilai yang sudah dianut ini.  Bentuk-bentuk ketidakadilan dalam novel ini menuturkan betapa Gadis Pantai tidak berdaya melawan takdir yang menimpanya ketika dinikahi sementara oleh Bendoro yang merupakan Priyayi yang kaya raya dan berpendidikan

Daftar Pustaka
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera.








Minggu, 05 Juni 2016

Mama

Diposting oleh Riska Febryanti di 19.48 0 komentar
Kata mama, mama tidak akan pernah pergi.
Selalu sama aku, selalu bicara panjang lebar tentang kehidupan. Tapi mama pergi. Aku tahu bukan karena mama jahat tidak menepati janji. Tapi mungkin mama lupa karena dunia disana jauh lebih indah daripada disini bersamaku.

Mama pernah cerita bahwa carilah orang yang mencintaiku bukan yang aku cintai. Aku belum pernah menemukan. Sekalinya aku menemukan pasti aku lebih memilih yang aku cintai. Mama benar bahwa aku salah.

Mama selalu mengelus rambutku dan meniup keningku saat aku merasa gerah, mungkin dia pikir aku bisa lebih sejuk dengan sedikit angin yang dihasilkannya. Mama benar. Aku terlelap.

Mama suka sekali masak, baru detik-detik terakhir saja aku diajari, tapi tidak semua. Sekarang aku bisa masak tapi hanya yang mama ajari. Aku ingin pintar memasak. Aku ingin jadi mama. Jadi mama yang baik. Aku mau seperti mama.

Mama. Aku mau bertemu mama.

Rabu, 04 Mei 2016

mimpi

Diposting oleh Riska Febryanti di 02.11 0 komentar
aku ingin membuatkanmu rumah jamur dengan atap merah polkadot, ingat ya! aku yang mebuatkan. bukan kamu! jangan sesekali mewujudkan mimpiku, aku ingin aku saja yang mewujudkan.
kita buat rumah itu menjadi rumah kurcaci, mengapa aku menyukai kurcaci? jawabannya mudah karena kurcaci setia menemani putri salju. aku juga ingin memunyai kurcaci-kurcaci yang setia.

dengan taman bunga, aku ingin bunga dengan warna putih, warna Tuhan. banyak sekali yang membuatku membanggakan warna putih. 
aku ingin berpagar kayu saja. sehingga para ilalang tidak akan masuk kedalam kebunku. 

aku tau kau ingin pula membangun kastil, tapi bolehkah kastil dan rumah jamur itu bersebelahan agar adanya kehidupan? bolehkah kita menjadi bersahabat karena bersebelahan? 
aku ingat kau menyanjungku dengan dongeng-dongengmu yang membuatku geli.
namun aku akan menyanjungmu dengan bangunan yang akan aku tawarkan, setuju? 

sekarang pejamkan matamu, dan akan aku buatkan segala keinginanmu. 
didalam perbedaan ruang dan waktu, didalam tempat dimana semua orang tidak ingin pergi.
.
.
.
.
mimpi.

Jumat, 22 April 2016

Ah Sierra, Bolehkah?

Diposting oleh Riska Febryanti di 19.12 0 komentar
Hai sierra? mengapa kamu selalu membanggakan warna putih? bahkan kali ini saja aku masih belum menemukan dimana titik keindahan pada warna putih.
Sierra.
aku tau bahwa kamu malaikat khayalan, namun bolehkah aku bertanya?
mengapa galaksi bima sakti mengadakan rotasi? apakah perputaran pada poros itu bisa dikatakan indah?
Sierra, ada yang bilang bintang itu tidak nyata hanya pantulan cahaya yang semu
tapi aku tidak berfikir demikian, bagiku bintang mampu memamcarkan cahayanya sendiri
bukankah begitu? bagaimana menurutmu? apakah kamu akan menjawab secara restorasi? seperti jawabanmu pada elphira?

mengapa malaikat duduk diatas pelangi dan jika pelangi tidak ada kemana malaikat akan bernyanyi? tentu saja dibintang!
aku tahu pelangi hanya sesaat dan akan tergantikan oleh bintang
namun bintang yang aku maksud sedang berusaha mendapatkanku Sierra kau tau?
aku begitu takut bahwa dia hanya terobsesi, seperti pelangiku dulu.
keindahan sesaat.
aku takut Sierra.

begitu mencolok perbedaan pelangi dan bintang,
aku ingin bintang itu sepertimu.
malaikat khayalan yang menjaga.
Bolehkah?

Sabtu, 09 April 2016

Hujan pertengahan april

Diposting oleh Riska Febryanti di 01.09 0 komentar
Kepada butir hujan pada April, aku rindu. Rindu dengan semua yang sempat ada, lalu hilang. Atau yang kini masih ada, tapi nanti akan hilang. Semuanya memang akan hilang, bahkan hari ini akan hilang ditelan senja. Kepada hujan di pertengahan april, aku rindu. Aku berjinjit melewati masa yang pasang surut. Berlari mengejar, jatuh tersungkur, terisak tergugu, temangu melamun, menahan sesak, menatap lurus-lurus apa yang perlahan hanya tinggal bayangan tipis. Hujan di pertengahan april, mengapa rindu itu egois?

Minggu, 03 April 2016

Sebuah nama panjang

Diposting oleh Riska Febryanti di 08.05 0 komentar
Aku suka ketika menyebut nama panjang seseorang disela sebuah percakapan
Bagiku terasa lebih menghormati
Aku suka ketika menyebut nama panjang
Ada beberapa makna yang terkandung dalam nama itu
Sebuah harapan, sebuah keinginan yang menjadikan nama itu adalah sebuah prahara yang indah; doa.

Kuselipkan nama panjangmu dalam setiap doa, berharap segala yang fana akan menjadi keindahan nyata. bahkan setiap semogamu aku selalu mengamini didalam hati.

Hati yang tidak pernah mengingkari.
Ia selalu jujur dengan apa keadaannya
Tidak pernah bohong dan tidak pernah menyakiti
Bahkan ketika musuh terbesarnya; otak.
Mereka seringkali tidak singkron.
Dan jika kalian tidak setuju. Aku tidak peduli

Sebuah nama akan menjadi ingatan yang membekas dalam peluh kalbu.

Kamis, 31 Maret 2016

entahlah

Diposting oleh Riska Febryanti di 00.40 0 komentar
aku hampir tidak tahu apa yang harus aku mulai. aku kacau. aku tidak menemukan titik kebahagiaan lagi sejak salah satu anggota dibagian terpenting ini pergi. ibu.
aku merasa aku selalu salah, apa yang aku lakukan tidak akan pernah ada benarnya. aku tidak ada pembela. pembelaku pergi.
aku tidak tahu apa yang mereka inginkan, yang jelas aku benar-benar tertekan. aku di dikte aku benar-benar dicetak untuk mengikuti mau mereka. semua kegiatan, bahkan teman saja selalu dikritik.
aku rindu....
aku rindu bahagia lagi.

curahan tetes air mata ini tidak akan pernah bisa merubah apapun, aku ingin seperti anak-anak yang lainnya. aku ingin menjadi yang dibanggakan tapi tidak pernah sekalipun mereka bangga terhadapku, aku ini apa? aku bukan boneka tangan yang dengan seenaknya di gerakkan, aku ingin bebas. aku ingin bebas berkreasi aku ingin bebas menjadi apapun yang aku mau.

mengapa yang aku lakukan selalu di kritik? mengapa yang aku perbuat itu salah? bahkan aku mengikuti lomba dan menjadi pemenangpun aku masih menjadi tersangka kesalahan.

Tuhan, aku percaya skenariomu lebih indah. namun percayalah aku benar-benar letih dengan semua ini. aku mencoba mengerti dan menerima


tp mengapa tetap saja aku selalu salah?


Jumat, 18 Maret 2016

Hai masa depan!

Diposting oleh Riska Febryanti di 05.19 0 komentar
“Cinta itu indah, jika bagimu tidak, mungkin kamu salah milih pasangan.” - Pidi Baiq
 Kepadamu dimasa depanku..
aku tidak tahu siapa dan aku tidak ingin menerkamu
aku hanya menyampaikan pesan yang aku tulis ini
aku tidak pernah menyesali kesalahan dengan siapa aku memulai
tapi mereka mengajarkanku banyak hal
kesabaran, keikhlasan dan juga kepercayaan dan pengertian

Hai! kali ini aku masih belajaar itu, jika kamu tidak menghargai akupun tidak perduli
cinta itu indah karena cinta itu "saling"

Kepadamu...
kelak, aku akan bersungguh-sungguh menjadi yang terbaik.
karena buah hatimu berhak keluar dari rahim wanita cerdas.
aku akan patuh dan berusaha menjadi makmum mu.

sekarang,
biarkanlah aku menjelajahi duniaku
dengan siapapun aku sedang menikmati hidup
aku akan selalu membahagiakannya
karena aku belajar agar bisa membahagiakanmu
aku akan menerima kekurangannya
karena aku belajar menerima kekuranganmu kelak.

jika aku tidak mencarimu, bukan berarti aku tidak berusaha.
aku hanya berusaha membuatmu menemukanku yang sedang menunggu.

jika kali ini aku salah memilih pasangan,
sempurnakanlah aku nanti.
jika kali ini aku salah memilih pasangan,
benarkanlah didalam hubungan kita nanti.
jika kali ini aku salah memilih pasangan,
percayalah! aku sedang berusaha menjadi yang terbaik untuk pasanganku dimasakini.
agar meski berbeda ruang dan waktu kelak kau akan belajar menjadi yang terbaik untukku.

Begitu pula aku...

Pesulap Rasa

Diposting oleh Riska Febryanti di 02.03 0 komentar


Rasa rinduku meluap, entah aku harus berbuat apa. Aku tak tau aku harus berkata apa padanya, aku takut dia bosan dengan rinduku.
Terkadang aku berfikir, bagaimana caranya agar dia tau rasaku inI, tetapi Tuhan memukul pelan kepalaku dengan sebuah momen yang sampai sekarang masih aku ingat dan akan selalu teringat.
Bagiku dia seperti pesulap yang dengan pandainya merubah rasaku dengan cepat dan dia pun sangat mengerti rasaku.
Aku terkagum oleh hebatnya, dia mengerti rinduku tanpa aku berkata sedikitpun, dia mengerti rasa sayangku tanpa aku menjelaskan semua rasaku, sekalipun aku tidak menunjukan.
Tapi ada satu hal yang tidak pernah dia mau tau, dia tidak pernah mau mendengar rasa cemburuku.
 Monster.. Bagaimana kalau aku sedang cemburu? Karena aku tidak sepandai-pandainya pencemburu, karena aku tau rasa cemburuku membuatmu kesal.
Aku selalu mengingat pesanmu "Hati-hati dengan rasa cemburu". Aku akui rasa percayamu luar biasa, dan aku ingin menjadi seperti kau

Sabtu, 27 Februari 2016

Bimbang

Diposting oleh Riska Febryanti di 22.56 0 komentar
Pertama kali aku tergugahDalam setiap kata yang kau ucapBila malam tlah datangTerkadang ingin ku tulis semua perasaan
Kata orang rindu itu indahNamun bagiku ini menyiksaSejenak ku fikirkan untuk ku benci saja dirimuNamun sulit ku membenci
Pejamkan mata bila kuingin bernafas legaDalam anganku aku berada disatuPersimpangan jalan yang sulit kupilih
Ku peluk semua indah hidupkuHikmah yang ku rasa sangat tulusAda dan tiada cinta bagiku tak mengapaNamun ada yang hilang separuhDiriku

Rabu, 17 Februari 2016

Kepadamu Senjaku.

Diposting oleh Riska Febryanti di 07.11 0 komentar

Aku suka ketika kau bersajak, seolah kau tenggelam dalam setiap imajinasi yang berkecimpung dalam fikiranmu. Begitu apa adanya, santai. Tanpa adanya tipuan ilusi atau sajak yang rekayasa. Namun kau benar-benar murni bersajak sesuai apa yang hati dan fikiranmu singkronkan..

Mengapa kau mencintai senja? Aku tersenyum meremehkan, apa yang indah dengan senja? Bukankah senja akan menggantikan kecerahan hari menjadi gelap gulita? Mata ini seakan buta untuk menatap, tak heran kau begitu mencintainya. Karena senja, adalah dirimu yang lain

Ada dirimu yang kau sendiripun tak dapat mengenalinya, keanehanmu menjadi keganjalanku. Kekuranganmu menjadi pelengkapku. Kita sama namun sebetulnya sangat berbeda. Kau dengan senjamu dan aku sebagai penikmat kopi yang tersenyum ketika melihatmu membanggakan senja.

Memang ada yang melebihi saudara, memahami meskipun tak mengerti. Mengiyakan meskipun tidak setuju, menerima meskipun tak sesuai dengan cara berfikir, dan tertawa karena pada hakikatnya ikatan kita ini satu.

Entah apakah kau merasakan kegundahan yang aku sungguh tidak dapat menerka dengan akal sehatku. Begitu terlalu mudah suasana hatimu goyah. Ketika aku diam, aku benar-benar tidak tahu cara membujukmu menjadi senjaku yang ceria lagi.

Apakah karena itu kau mencintai senja? Karena senja mampu merubah hal yang sebenarnya tidak ingin ditinggalkan?

Kepadamu senjaku, aku menulis pada hujan dibulan Februari


kamu

Diposting oleh Riska Febryanti di 07.05 0 komentar
Kalau kamu tanya dimana tempat favoritku, aku jawab “tempat bonceng motormu” aku bisa bercerita, menggodamu, bahkan mengolok-olokmu semauku
Kalau kamu tanya apa keadaan yang sangat aku tunggu-tunggu? aku jawab "ketika berjalan dari GKB menuju parkiran dan menemuimu menungguku disitu".
Kalau kamu tanya apa kebahagiaan kecil untukku? aku jawab "berjalan beriringan dikampus sambil tanganmu mengelus kepalaku"
Kalau kamu tanya kapan hari paling menyenangkan? aku akan jawab "hari dimana pertama kali kita bertemu"
Kalau kamu tanya apa yang membuatku berdebar? Aku jawab "Melihatmu sedang melihatku dan tersenyum"
Kalau kamu tanya apa yang paling aku sukai? Aku jawab “semua cacat dan sempurnamu”
Kalau kamu tanya apa yang paling aku kagumi? Aku jawab “perubahan lebih baikmu”
Kalau kamu tanya apa hal yang paling membuat aku aman? Aku jawab “berada dalam penjagaanmu”
Kalau kamu tanya kenapa aku perlu menulis ini dalam blogku? Aku jawab “aku suka menulis tentangmu”

Kamis, 28 Januari 2016

Kenangan itu nyata adanya

Diposting oleh Riska Febryanti di 07.32 0 komentar
Malam ini, kenangan itu muncul lagi menyambar dipikiranku, haruskah kubiarkan pergi atau kuizinkan menggeledahi seisi kepalaku akan kenyataan yang telah berlangsung lama itu?

Kupaksa pejamkan mata, namun malam menolaknya seolah ingin aku kembali terhanyut dalam kenangan itu.

Bukan kenangan syahdu, hanya begitu kuat kekuatan yang disebut sebaik-baiknya penyimpan.

Sebutir kenangan mampu merusak jutaan sel-sel otak yang bersikeras melupakannya, layaknya hukum pareto 80/20 hasil tidak akan pernah menghianati usaha. Begitu pula usaha menyimpan sebuah kenangan.

Mengapa harus angkasa? Apa karena adanya semesta? Angkasa dan semesta saling berkaitan begitu pula kenangan dan masa depan.

Kamis, 14 Januari 2016

pernahkah?

Diposting oleh Riska Febryanti di 08.19 0 komentar
Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena paras dan tingkah lakunya
Namun karena tatapan yang teduh dan senyum yang menentramkan.

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena harkat dan martabatnya
Namun karena akhlak dan usahanya menjadi lebih baik.

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena tata ucap dan sopan santunnya

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan terhadap angin malam yang seolah tersenyum kecut melihatmu rindu akan dia

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena begitu menginginkannya namun karena bibir berkata "enggan"

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena dia begitu lembut dan membuatmu berarti

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan ketika hujan turun dan payung merah itu siap menjadi tamengmu menerobosnya.

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena kayu lapuk yang terbakar habis oleh api dan menjadi abu

Pernahkah kau jatuh cinta.
Dengan dia, kau merasa seolah bahwa ingin berusaha menyayanginya selayak apa telah dia perbuat.
kau merasa tak ingin mengecewakannya, tak ingin memberi luka lagi, tak ingin memerangi hatimu untuk waktu yang terlalu lama.

Kita terlalu asing, terlalu banyak perbedaan.
begitu sering aku menggunakan setiap alasan yang pada hakikatnya tak mengandung arti
karena setiap alasan bagimu adalah pengecualian

dan aku, pernah.

Sabtu, 09 Januari 2016

sebetulnya ia manusia, ataukah dewa?

Diposting oleh Riska Febryanti di 04.14 0 komentar
kuterperonjak dari tidurku, kebuka pintu dan segala mencari sudut penjuru seisi rumah ini, namun tak kutemui sosoknya. kulihat diluar rumah air tak henti-hentinya menjatuhkan dirinya membawa keberkahan dimalam ini, hujan... hening...
aku tersadar sudah lebih dari satu jam yang lalu adzan maghrib berkumandang, kuambil payung dan dengan gontai mataku menyapu setiap jalan yang kulewati dengan mengangkat sebagian rokku takut terkena genangan air yang mampu membatalkan wudhuku..

tiba-tiba kakiku kaku, seolah tak ingin beranjak dari tempat aku berdiri, air mata tiba-tiba menetes dengan sendirinya tanpa aku menyuruhnya keluar dari mata ini. kutemui sosok yang kucari dengan berkalung sorban dan mengenakan peci ia sedang bercerita dan seolah menjelaskan sesuatu kepada beberapa orang anak-anak yang duduk didepannya, dengan tertawa dan gerakan tangan serta mimik wajah yang memperlihatkan ekspresinya seolah ia hanyut dalam cerita dan pengetahuannya. ia mengajar anak-anak itu mengaji.

aku berdiri, lama. kuyakinkan bahwa itu dia. ayahku. dengan rambut yang mulai memutih dan guratan keriput tergambar jelas didahinya. tak henti-hentinya mulutku ini bertasbih. aku tercengang, aku bangga, dan aku terharu, begitu sulit jalan yang telah ia lewati pasca ibuku meninggal. aku tau dalam diam sebenarnya ia menderita, aku tau begitu besar cintanya, pengorbanannya,..

kuusap air mataku yang bercampur dengan air hujan, kubalikkan badan dan kembali kerumah dengan kembali sempoyongan dan tak bisa kukondisikan air mata yang jatuh ini, begitu luar biasa ciptaan-Mu, sebetulnya benarkah ia manusia? manusia yang selalu dapat memanusiakan manusia. manusia yang selalu menjelma sebagai makhluk lain didalam sanubariku yang selalu menghormati dan menyayanginya.

sebetulnya ia manusia, ataukah dewa?

Sabtu, 02 Januari 2016

Konspirasi Kotor

Diposting oleh Riska Febryanti di 20.06 0 komentar
Kategori : Cerpen Sejarah
Penulis : Sesi Anita Irawati
Pagi itu, 25 September 1965, seorang lelaki tergopoh-gopoh memasuki sebuah rumah berdinding bilik. Setelah meneguk segelas teh yang sudah dingin karena telah disiapkan sejak subuh oleh sang istri, ia bergegas mengganti sandalnya dengan sebuah sepatu kulit murahan, bermaksud hendak pergi lagi, kali ini sambil membawa sebuah map merah berisi entah apa.
"Mas?" Sri, istrinya, hanya bisa memandangnya dengan tatap penuh tanya.
Lelaki yang dipanggil mas itu menoleh. Hanya sekilas lalu kembali menekuni pekerjaannya memakai sepatu. Masih dengan gegas yang sama.
"Aku ada urusan penting, Sri, urusan organisasi. Ati-ati neng umah...jaga awakmu yo1!" Lelaki itu menyentuh pucuk kepalanya sekilas lalu melesat pergi.
Itulah hari terakhir Sri bisa menatap wajah suaminya. Suami yang baru dua bulan memberinya gelar lain sebagai ibu Sunardi. Bukan lagi Sri Parwati. Dan ia, yang sejak kecil diajari sang ibu untuk tak banyak tanya pada apa pun urusan sang suami, hanya bisa melakoni perannya sebagai istri berbakti, manut, tak boleh bertanya, dan pantang mengatakan tidak. Ia tak tahu apa-apa tentang organisasi, entah apa yang nampak sangat dicintai suaminya itu. Ia ingin tahu, tapi tak punya daya apa pun. Pernah sekali ia memberanikan diri bertanya, tapi suaminya menjawab dengan nada amarah.
" Sri, kowe ra sah melu-melu, pokoke aku nyambut gawe kanggo wong cilik.2"
Dan itu cukup bagi Sri untuk memutus rasa ingin tahunya. Ia mulai berusaha menutup mata dan telinga dengan apa pun yang dilakukan suaminya. Lagipula pekerjaannya sebagai penjahit kecil-kecilan selain guru SR di dusun kecil di pelosok Kediri itu sudah sangat menyita perhatian.
Harapan Sri sederhana saja, apa pun yang dilakukan suaminya, tidak berbahaya bagi mereka. Di dunia, maupun di akhirat.
Hari itu 1 Oktober 1965, tak seperti biasanya, kegiatan sekolah dihentikan sebelum waktunya. Kepala sekolah mendatangi setiap kelas dan mengumumkan bahwa ada peristiwa genting di Jakarta sehingga sekolah harus dikosongkan. Juga tak boleh keluar dari rumah. Sri dan kawan sesama guru bergegas pulang meski dengan setumpuk pertanyaan. Karena tak ada penjelasan sama sekali tentang peristiwa yang disebut genting itu.
Sri menghitung-hitung dalam hati sambil menyandarkan sepeda jengkinya dipohon seri depan rumah. Berarti sudah enam hari Mas Nardi pergi dan tidak ada kabar. Sri mendesah, ia cemas. Ada perasaan ngelangut, linglung. Dan itu aneh. Rasa ini seharusnya tidak ada. Toh suaminya sudah sering meninggalkannya untuk urusan organisasi.... Entah apa? Mas Nardi tak pernah memberinya keterangan apapun.
Ia baru selesai berganti pakaian ketika didengarnya suara gaduh dihalaman, memanggil manggil nama suaminya. Setengah berlari Sri menghambur keluar, namun di pintu ia bertabrakan dengan serombongan orang berseragam tentara.
"Mana Sunardi?!!"
"Geledah! Cari sampai ketemu!"
Mereka sama sekali tak memberi Sri kesempatan untuk bertanya. Para tentara itu merangsek ke dalam rumahnya, mengobrak-abrik apa saja, mengeluarkan semua isi lemari. Sri betul-betul tak mengerti. Namun, belum sempat ia berpikir lebih jauh, dua orang tentara membetot tangannya, lalu mengikat dan mendorongnya hingga ia jatuh terduduk di halaman tanah rumahnya.
"Kamu istrinya Sunardi?!!"
Sri mengangguk dengan gemetar.
"Mana suamimu? Jangan coba-coba bohong!"
"Sungguh, saya ndak tahu, suami saya pergi sejak seminggu lalu..."
"Bohong! Kamu tahu? Suamimu itu PKI. Kamu juga pasti anggota Gerwani yang ikut membunuh jenderal-jenderal kami...!"
Sri terlongo, ia sama sekali tak mengerti maksud ucapan itu.
"Dasar perempuan sundal, pembunuh, pelacur!"
PLAK! Lalu pukulan bertubi-tubi menghantam wajahnya, menjambak rambutnya.
"Bunuh saja! Bunuh! Bakar rumahnya!"
Suara itu gegap gempita, dan ucapan itu bukan main-main, sebentar saja api sudah membumbung tinggi dan dengan cepat membakar hangus rumahnya yang hanya berdinding bilik. Sri terlongong dalam cengkeraman tangan kekar salah seorang tentara. Namun mereka tidak membunuhnya. Mungkin belum.
Sri sudah tak mampu menangis. Takut dan bingung menguasainya.
Kemudian tanpa banyak bicara, mereka menaikkan Sri ke dalam sebuah truk. Melemparnya begitu saja seolah tubuhnya sebuah karung barang bekas. Dalam bak truk terbuka itu, ternyata sudah banyak orang. Laki-laki dan perempuan, semua dengan kondisi sama. Tangan terikat dan penuh luka bekas pukulan. Sri ingin bertanya, tapi nampaknya, ketakutan membuat mereka lebih memilih untuk diam.
Mereka dibawa ke sebuah pos polisi dan ditempatkan di sebuah ruangan. Lelaki dan perempuan dipisah. Namun berjejal-jejal saking banyaknya. Kepala Sri penuh dengan pertanyaan, tapi suasana yang tegang dan mencekam membuat mereka tak berani membuka suara. Lelah fisik dan batin membuatnya nyaris trtidur ketika suara kerangkeng besi yang berat mengagetkannya.
"Mana istri Sunardi? Sekertaris CC PKI 3?" seorang tentara berteriak.
Mereka semua terdiam. Sri ketakutan.
"Kalau tidak ada yang mengaku, kalian semua akan saya bunuh!"
Mereka saling berpandangan. Takut takut, Sri maju. Ia harus menyerahkan diri, tak mungkin mengorbankan orang lain.
Tentara itu membawa Sri ke sebuah ruangan. Di sana ada setengah lusin lagi tentara, menunggu mereka dengan bedil terhunus.
"Ini dia, pembunuh jenderal-jenderal!" kalimat itu menyambutnya.
"Pembunuh? Siapa yang saya bunuh?" Sri memberanikan diri bersuara.
"Dasar sundal...! Pura-pura tidak tahu!"
PLAK! PLAK!
Pukulan itu kembali bertubi-tubi. Sungguh tak mampu membuatnya bisa berpikir tentang apa yang terjadi. Selanjutnya, Masya Allah, kejadian yang tak pernah Sri bayangkan terjadi. Siksaan di luar batas peri kemanusiaan, keji dan hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tak bertuhan. Sri hanya bisa menjerit dalam hati, karena ia tahu tak ada artinya jika jeritan itu ia bahasakan. Malah akan lebih menyenangkan buat mereka. Ditahannya sakit sambil terus menyebut nama Allah, sampai suatu ketika, ketika sakit itu tak tertahankan lagi, ia terkapar dengan kesadaran yang tercerabut sempurna.
***
Sri terbangun dengan mata berkunang-kunang. Bibirnya perih dan masih merembeskan darah. Wajahnya bengkak dan penuh lebam. Di atas itu semua, ia merasa perih yang amat sangat di bagian vital tubuhnya. Arus listrik entah berapa ratus volt yang terakhir kali ia rasakan menyetrum tubuhnya, tepat di bagian-bagian vital. Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi, sampai akhirnya terbangun dalam sel. Terbaring dengan pakaian yang sudah tercabik-cabik. Sri sangat malu. Beberapa wanita menatapnya iba. Salah seorang tengah mengoleskan minyak kelapa di tubuhnya yang memar-memar.
"Ada apa ini?" Untuk pertama kalinya Sri membuka suara. Sejauh ini, meski siksaan telah bertubi-tubi menghantamnya, ia sama sekali tak mengerti apa yang terjadi. Tentara-tentara itu hanya memaksanya mengakui bahwa ia adalah anggota Gerwani, gerakan simpatisan PKI yang mendalangi pembunuhan para jenderal di Jakarta..
"Sabar, Nduk..." Perempuan yang mengoleskan minyak kelapa tersenyum lemah.
"Tapi yo aku ra ngerti, Mbak..."
"Kita semua juga tidak mengerti apa yang terjadi. Sebelum ditangkap saya dengar ada pembunuhan para jenderal di Jakarta dan PKI yang dituduh mendalanginya. Suami sampeyan orang PKI to?"
Sri termangu, jadi?
"Suami saya juga anggota BTI4 dan saya baru seminggu menjadi anggota Gerwani. Tapi saya sama sekali tidak mengerti kenapa saya dituduh ikut merencanakan pembunuhan para jenderal hanya karena saya Gerwani. Padahal organisasi kami hanya mengajarkan baca tulis serta keterampilan kaum perempuan. Tapi pemerintah menuduh Gerwani dididik oleh PKI untuk membunuh dan menyayat nyayat para jenderal..."
Sri terduduk lemas. Jadi itu masalahnya? Dia adalah istri seorang petinggi PKI, dan baru baru ini telah terjadi pembunuhan para jenderal dan PKI adalah dalangnya. Benarkah? Lalu mengapa dia ikut disiksa? Padahal ia tak tahu apa-apa. Di mana suaminya kini pun ia tak tahu.
Mas Sunardi! Apa yang terjadi padanya?
Sri meneteskan air mata. Ia takut, bingung, dan sedih. Padahal itu baru malam pertama mereka dalam sel, ia telah mengalami penyiksaan luar biasa. Sri tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka esok dan esoknya lagi.
***
Sudah seminggu Sri dan lebih dari dua puluh wanita lain berada dalam sel, tanpa diadili. Mereka hanya diwajibkan menjawab semua pertanyaan para interogator dengan sepatah kata ya. Jika berani membangkang, tak segan-segan pukulan, tendangan, bahkan sengatan listrik menghantam tubuh. Beberapa tak kembali setelah dibawa tentara ke ruang interogasi. Lebih dari itu, setiap habis disiksa secara fisik, mereka juga mendapatkan siksaan lain berupa pemerkosaan!
"Bon malam" adalah istilah yang mereka pakai untuk mengambil para wanita untuk diinterogasi. Dan yang lebih menyakitkan, semua itu dilakukan oleh bangsanya sendiri!
Air mata Sri sudah kering. Yang ada di benaknya kini hanyalah bagaimana caranya supaya ia bisa melarikan diri. Tapi itu nampaknya mustahil. Puluhan tentara berjaga di seantero sel. Tak ada celah.
"Kita harus melawan, Mbak..." Sri berbisik pada wanita yang menolongnya tempo hari, yang kini diingatnya bernama Rusminah.
Wanita itu menggeleng dengan sorot putus asa.
"Tidak mungkin, Sri...mereka..."
Ucapan itu terhenti karena tiba-tiba tiga orang tentara datang dan membawa tiga orang perempuan, termasuk Sri. Dengan tubuh yng masih sangat lemah, Sri terseok-seok dalam seretan tangan tangan kekar itu.
Mereka dibawa kembali keruang interogasi. Namun ternyata di sana bukan hanya ada tentara, tapi beberapa lelaki yang menenteng mesin tik dan kamera. Sepertinya wartawan. Allah, apalagi yang akan mereka lakukan?
Sebelum tiba di dekat para wartawan itu, seorang tentara berbisik pada mereka.
"Ingat, jawab semua pertanyaan wartawan itu dengan ya saja. Kalian tahu apa yang akan terjadi jika kalian membangkang!"
Mereka didudukan di atas meja, dengan tubuh separuh terbuka karena pakaian-pakain yang telah tercabik. Sementara itu, puluhan lelaki, tentara dan wartawan, mengelilingi mereka. Segera saja, cahaya kamera menyorot wajah-wajah mereka. Sri merasa harga dirinya benar-benar berlutut di angka nol. Tapi, masih adakah gunanya membicarakan harga diri?
"Ini dia, perempuan-perempuan pelacur pembunuh para jenderal. Anggota gerakan merekalah yang menyilet-nyilet para jenderal kita, menari-nari telanjang dan memotong alat vital para jenderal kebanggaan kita."
Sri menunduk. Hatinya menjerit-jerit. Ia ingin menyangkal semua itu, tapi ia tahu apa yang akan diterimanya. Pelecehan? Siksaan? Atau bahkan... kematian?
Kematian? Bukankah itu jauh lebih baik? Apalagi ia mati untuk mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Juga membela harga dirinya. Ia sungguh tak tahu apa apa. Bahwa ia bersuamikan seorang anggota PKI, itu diluar sepengetahuannya. Di luar keinginannya. Dan apapun yang dilakukan suaminya, ia sama sekali tak tahu.
Tidak adakah peradilan untuknya? Peradilan yang sesungguhnya. Bukan interogasi sepihak.
"Jadi kamu istri sekertaris CC PKI, Sunardi, ha?" seorang wartawan menanyainya dengan geram. Tuhan, bukankah seharusnya ia pihak yang netral? Apakah ia juga telah menjadi budak kekuasaan?
"Jawab!! " seorang tentara membentaknya.
"Ya "
"Bagus, jadi benar kalian merencanakan pembunuhan keenam jende ral, menyayat nyayat tubuh mereka lalu melemparkannya ke sumur tua? "
Sri menengadahkan kepala. Rasa sakit yang amat sangat ditubuhnya masih belum seberapa dibanding siksaan batin dan mentalnya. Ia sama sekali tak rela dituduh membunuh para jenderal. Ia mencintai negara ini. Lagipula ia hanya ibu rumah tangga biasa. Bagaimana bisa ia dituduh terlibat pembunuhan keji itu?
"Tidak!! "
Tiba-tiba kata itu melesat dari mulutnya. Semua orang di ruangan tertegun. Terlebih kedua wanita tahanan yang diseret bersamanya. Mereka menunduk ketakutan.
"Dasar sundal! Pembunuh!! Pelacur!"
"Tidaaak!" Sri kembali berteriak, kali ini lebih lantang. Sudah kepalang basah, ia bertekad menyelesaikannya saat ini juga. Ia hanya punya dua pilihan. Mengikuti kemauan mereka untuk mempertahankan hidupnya dalam kehinaan, atau mempertahankan harga diri dan kebenaran yang mungkin berujung pada kematian.
"Saya tidak pernah membunuh para jenderal! Kami tak pernah membunuh!"
Itu adalah kalimat terakhir yang dapat ia perdengarkan. Sesudahnya, sebuah hantaman keras menghantam batok kepalanya, memberinya kegelapan sempurna.
***
Nun jauh di sana, di pusat ibu kota, seorang lelaki berperawakan gagah, dengan setelan perwira yang dipenuhi tanda kepangkatan, tengah menerima telepon.
"Ternyata tidak sesulit yang saya duga, Sir..."
"Tentu saja." Seseorang di ujung telepon lain menyahuti, "Sudah saya bilang, cara saya akan lebih efektif. Kita gunakan orang dalam untuk menumbangkan kekuasaan. Tak perlu mengotori tangan sendiri. Hanya memerlukan beberapa martir. Maka Anda lihat hasilnya. Anda tak perlu lagi mengasuh Jenderal-jenderal yang Anda sebut tak berguna itu, rakyat tak percaya pada pemerintah, PKI yang dituduh mendalangi akan segera ditumpas, dan Anda tinggal memetik hasilnya. Tak ada lagi yang menghalangi Anda untuk mengambil alih kekuasaan. Bahkan saya yakin, rakyat Anda akan menganggap aAnda sebagai dewa penyelamat. Selanjutnya, tinggal membuat buku-buku sejarah sebagaimana Anda inginkan..."
Mereka tertawa.
"Tentu saja, saya pun menunggu hasilnya. Jangan lupakan janji-janji Anda, membiarkan bangsa kami mengeksplorasi kekayaan bumi anda. Fifty-fifty. Dengan jalan halus tentu saja. Saya jamin, tak akan ada yang berani mengusik ketenangan Anda nantinya."
"Deal...!!" Telepon ditutup. Sang perwira tersenyum puas.
Di sebuah benua di belahan bumi yang lain, sepotong tangan ikut meletakkan gagang telepon. Lalu tersenyum, dengan ekspresi puas yang sama.



 

Riska Febryanti © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor