Senin, 20 November 2017

SUKU BANGSA TAK SENADA

Diposting oleh Riska Febryanti di 09.05 0 komentar

"ini budayaku. ya! aku pancen wong Jowo!" teriakku dalam hati. 


             Malam ini aku teringat akan lelaki yang 5 tahun silam sedang menempuh gelar sarjana di salah satu universitas ternama di kota Yogya. Idam namanya. tapi aku sering memanggilnya dengan sebutan "Amang" atau dalam bahasa Banjar adalah panggilan untuk laki-laki yang lebih tua. Ia berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur yang lebih tepatnya ia tinggal di Jalan Kadrie Oening GG. Respen, Air Hitam, Samarinda Ulu. Aku memang belum pernah menginjakkan kakiku di ibu kota Kalimantan Timur itu. Namun, aku menghafal alamatnya, aku menghafal keluarganya, aku belajar bahasanya meski aku ini wong Jowo. Bahkan, aku tau dan ingat betul bahwa ia suka makanan pedas-asin. Ibunya Banjar-Kutai dan bapaknya adalah orang Jawa yang lahir di kota Yogyakarta. Ya, kota istimewa penuh cinta dan juga bisa dibilang kota yang menjadi pusat bapia pathok dan Yogyakarta adalah kotaku. kota dimana aku tinggal dan kota dimana aku  bertemu dengan Idam. Aku memang lahir di Malang, Jawa Timur. Namun, setelah lulus SMP ayahku dipindah tugaskan di Yogyakarta. Aku senang bapaknya adalah orang Jawa sehingga Idam bukan Banjar tulen. meski bagiku dibilang Jawa pun ia tak pantas karena kulitnya yang risik dan mukanya yang memang tidak seperti orang Jawa. Sempat aku bertanya "kamu lebih suka disebut suku Jawa atau suku banjar?" namun Idam hanya tersenyum melihatku yang sedang tenggelam dalam pertanyaanku sendiri. Aku suka ketika ia diam. aku suka ketika ia lebih banyak tersenyum melihat celotehanku. sempat pula aku bertanya padanya "Dam, kenapa kamu pendiam?" dan tanpa diduga ia menjawab "karena waktu kecil aku sangat berisik, hingga mamak dan abah menegurku karena terlalu berisik, sejak saat itu aku lebih banyak diam" aku memperhatikan Idam bercerita singkat namun jelas isinya. aku mengangguk mengiyakan. aku menyukainya. aku menyukai kebudayaannya. 

               Kami berteman sejak duduk di semester 1 yang tidak sengaja kenal lewat teman SMA ku bernama Aryo yang ternyata adalah teman kuliah Idam. Mereka berdua menempuh kuliah di UGM dan mengambil jurusan Teknik Industri sedangkan aku kuliah di UNY fakultas bahasa dan seni dan mengambil jurusan Sastra Indonesia. 

"Ayu! gimana kabarnya tho? pangling aku!" Aryo memanggilku ramah di Angkringan dekat Malioboro.
"Baik yo, kamu kuliah dimana sekarang?" jawabku dengan tak kalah ramah. 
"Aku kuliah di UGM Yu, kata anak-anak kamu keterima di UNY? Selamat ya?" Aryo menjabat tanganku dan aku menyambut tangan itu dan mengucapkan terimakasih. Aryo memang baik. 

Namun, mataku menangkap sosok tinggi jakung berkacamata dengan kulit bersih yang duduk di sebelahnya. Ia tampak sibuk dengan  kopinya tanpa memperdulikan aku yang sedang berbincang dengan Aryo. tidak lama setelah itu Aryo mengenalkanku dengan lelaki itu. "Oh Iyo aku lali. kenalin iki koncoku satu kampus, namanya Idam" lak-laki jakung itu menoleh dengan senyum ramah sambil menyalamiku "Idam" aku balas menjabatnya "Ayu, salam kenal" Aryo mengajakku bergabung bersama mereka namun aku harus segera pulang karena ibuku menitip wedang jahe di angkringan langganannya ini. 

Pertemuan singkat yang menyebabkan aku dan Idam berteman, kami menjadi sering bertemu ntah nonton bioskop, makan di angkringan, atau sekedar jalan-jalan menyusuri jalan malioboro. Idan menjelaskan budayanya tidak jauh beda dengan Jawa. "Ketika akan menjelang bulan Ramadhan, di rumahku juga ada slametan, sama aja seperti disini" Idam menjelaskan dengan meminum Coca-cola yang baru saja ia beli. malam itu kami berada di Plaza Ambarukmo. 

"Dam, ajari aku bahasa banjar. aku mau kita bicara pakai bahasa banjar" ujarku dengan mimik muka mengharap. lagi-lagi ia tersenyum.
"Buat apa? kita bisa lancar bahasa Indonesia, dan semisal kamu pakai bahasa Jawa pun aku paham meski aku tidak bisa membalas menggunakan bahasa Jawa. aneh rasanya"
"Tapi aku ingin tau tentang daerahmu, aku ingin tau lebih banyak" aku menjawab dengan nada jutek. Idam mengacak-acak rambutku.
"Baiklah, dasarnya saja. Ulun itu berarti aku, ikam itu kamu tapi ada juga bahasa banjar yang lebih halus yaitu pian". Idam menjelaskan beberapa kosa-kata bahasa Banjar yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. aku mengamatinya dengan tersenyum. "Atau kamu bisa memanggilku dengan Amang yang memiliki arti laki-laki yang lebih tua" aku mengangguk tanda setuju. begitulah asal mula aku memanggilnya Amang.

            Aku dan Idam semakin dekat dan selalu bersama. hingga suatu saat hal yang tidak aku duga terjadi. 
"Yu, sepertinya aku harus pulang ke Samarinda minggu ini. mamak sakit. kau tak apakah sendiri di sini?"
dengan khawatir aku menjawab "Astaghfirullah, sakit apa dam? ora popo. pulanglah!" 
aku dengan Idam memang berteman namun semua orang tahu aku dan Idam saling menyayangi meski belum menyandang status pacaran.

           Hari berganti hari setelah Idam pulang ke Samarinda. Aku menjalani hariku dengan biasanya. sesekali Idam menghubungiku lewat telepon. Aku gembira. Aku berharap ketika ia kembali ke Yogyakarta ia bercerita tentang keluarganya di Kalimantan. Aku berharap ia menceritakanku pada keluarganya. Namun, setelah telpon nya yang terakhir, Idam belum menghubungiku selama 2 minggu ini, aku khawatir ada apa. aku telepon namun selalu sibuk. aku sangat khawatir. 

            Pagi hari, aku bangun dengan muka malas. Hari ini hari minggu tentu saja aku sedang libur kuliah, dan aku sudah sikat gigi. Setelah keluar dari kamar mandi aku menemui sosok lelaki yang menyita banyak pikiranku sedang duduk di ruang tamu, aku kaget sekali tapi aku bahagia. Dari mimik wajahnya aku melihat bahwa ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja. Aku melangkahkan kakiku mendekatinya. Dengan tenang Idam tersenyum tipis.
“Hai Ayu, bagaimana kabarmu? Bisa keluar sebentar?” aku menjawab dengan nada pura-pura ngambek
“Jahat, pian kada menelpon sama sekali!” ujaku menggunakan bahasa banjar yang berarti dia tidak menelponku sama sekali.
“Aku akan menjelaskan, bisa keluar sebentar tidak Bungas?” ia memanggilku dengan sebutan bungas yang berarti cantik. Aku mandi dan siap-siap keluar dengan hati bahagia. Entah mengapa jika bertemu dengannya aku tidak pernah bisa marah.

            Sepanjang perjalanan Idam membisu, jalan-jalan menjadi saksi saat itu. Bau tanah masih semerbak karena belum kering terguyur hujan. Kami belok ke Jalan Janderal Ahmad Yani dan berhenti di sebuah cafe bertuliskan “Indische Koffie” tempatnya bagus dengan kursi putih tinggi dan disuguhi pemandangan taman yang begitu indah.
“Yu, aku mau bicara” ucapnya lirih. Jantungku berdtak tidak karuan, tanganku bergemetar. Aku dan Idam memang sudah seperti anak pacaran namun aku menduga saat ini ia akan memintaku menjadi pacarnya. Aku senang luar biasa. Namun, dari mimiknya mengapa aku melihat ada sesuatu yang bukan aura kebahagiaan.
“Ada apa dam? Kadada masalah kah?” ujarku menggunakan bahasa banjar yang memiliki arti tidak ada masalah kah?
Idam diam.
“Cerita dam ada apa? Jangan diam saja. Aku khawatir kamu tidak memberiku kabar sama sekali?” aku mendesaknya agar menceritakan hal apa yang akan dibicarakan.
Matanya berkaca-kaca, aku dapat melihatnya jelas di belik kacamatanya yang mengembun. Idam melepas kacamatanya dan memijat keningnya dengan tangan. Aku terpekik, selama satu tahun ini belum pernah aku melihatnya menangis.
aku tresno kowe yu” kata-kata itu menghujam jantungku, seperti dugaanku akhirnya ia mengatakannya.
“tapi, aku gak bisa sama kamu” lanjutnya. Jika ada petir pasti petir itu sudah menyambar dadaku ini. Sakit sekali.
Aku diam. Aku menduduk.
“aku tidak tahu harus mengawalinya bagaimana. Kau tahu kan ibuku banjar-kutai dan ayahku Jawa. Memang di Kalimantan tidak ada larangan untuk menikah dengan orang Jawa. Tapi dalam keluargaku haram hukumnya. Kemarin aku pulang karena mamak sakit. Ternyata mamak melihat foto kita berdua di akun instagramku yang aku unggah beberapa waktu lalu. Mamak tau bahwa kamu adalah keturunan Jawa tulen. Aku sempat bertengkar di telepon hingga mamak jatuh sakit dan abah menyuruhku pulang”
Penjelasannya menyesakkan dadaku, ingin aku menangis. Tapi kutahan. Satu tahun bukan waktu yang cukup singkat dan banyak sekali kenanganku bersamanya.
“apa salahnya dengan orang Jawa? Kami sopan kami punya unggah-ungguh. Dan orang tuamu belum mengenalku”
“waktu itu mamak menikah dengan abah meski telah ditentang keras dengan keluarga besar. Karena nenek pernah ditipu dengan orang Jawa dan harta bendanya habis atau biasa orang jawa mengatakan Ludes. Sejak saat itu keluarga kami menjadi amat miskin tidak sepeti sekarang ini. Kakek dan nenek memulai lagi usaha “amplang” dan tentu saja keluagaku sangat membenci orang Jawa” ia berhenti sejenak dan meminum es jeruk yang telah dipesan.
“hingga saat mamak memutuskan mencintai orang Jawa, seluruh keluarga besar murka dan mengusir mamak dari rumah bahkan tidak menganggap anak lagi. Hingga aku lahir, wajahku begitu mirip dengan keluarga mamak dan aku benar-benar banjar. Nenek dan kakek sangat menyayangiku dan mereka melupakan amarahnya terhadap mamak. Tapi tetap tidak menerima abahku. Ketika ada acara keluarga. Aku dan mamak yang diundang”
Panjang lebar Idam menjelaskan, dan air mataku tidak bisa terbendung lagi. Aku menangis. Pipiku basah. Aku tahu apa yang akan dikatakannya selanjutnya. Aku tahu. Aku paham. “Tolong jangan dilanjutkan” pintaku dalam hati.
“Ayu, kamu tahu kan aku harus berbakti kepada orang tua. Mamak menasehatiku agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Mamak tau aku sangat mencintaimu tapi aku terpaksa mengatakan ini. Kita berpisah saja meski dimulaipun saja belum” Idam mengatakan itu dengan cucuran air mata yang tak kalah derasnya denganku.
            Aku tidak peduli dengan orang yang lalu lalang melihat kami menangis. Aku mencintai budayanya. Sebelumnya aku mencintai Jawa dengan orang-orangnya, musiknya, sopan santunnya. Namun, Idam datang dan aku suka tentang kebudayaannya pula. Tapi apa salahnya dengan suku bangsa yang tidak senada?  "ini budayaku. ya! aku pancen wong Jowo!" teriakku dalam hati. 
            Idam pergi. Idam pulang ke kotanya. Aku mulai menata hidupku lagi. Bukan dengan orang-orang baru tapi dengan semangat yang baru. Aku lewati hari-hariku dengan sabar. Lulus kuliah aku pergi merantau mencari pekerjaan dan tentu saja melupakan Idam. Hingga kini aku menjadi jurnalis di kota Malang, kota kelahiranku. Cukuplah Yogyakarta membesarkanku dan memberikanku pengalaman. Aku tidak membenci orang suku bangsa Banjar. Namun, aku tidak ingin terlalu dekat dengan mereka karena luka masalaluku.
            Malam ini, aku menulis dengan menitikkan kembali air mataku. “meski kita berbeda suku bukankah kita Indonesia?” tanyaku padanya ketika awal berkenalan. “Tentu saja” jawabnya dengan senyum khasnya. Tapi itu hanya kenangan. Dan aku bahagia pernah mengenalnya.


Jumat, 16 September 2016

Analisis Karya Sastra dengan Pendekatan Feminisme

Diposting oleh Riska Febryanti di 01.46 0 komentar
KETIDAKADILAN GADIS AKIBAT PERBEDAAAN GENDER DALAM NOVEL GADIS PANTAI
Karya: Pramoedya Ananta Toer
Riska Ida Febriyanti
201510080311053
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang

Latar Belakang
Karya sastra digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini merupakan salah satu faktor penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur imajinasi. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial yang mungkin atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Paham tentang wanita sebagai orang lemah lembut dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif dan sejenisnya selalu mewarnai sastra kita. Ada pula ketika sastrawan pria bicara tentang perempuan sering tersurat pemojokan-pemojokan. Nasib perempuan pada pihak yang “minus” atau negatif, bahkan sering sampai ketitik sengsara batin. Perempuan hanya sekadar objek. konsep ini telah membelenggu hingga mendorong perempuan kesudut keterpurukan nasib. Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan.
Karya sastra yang saya kaji dalam penelitian ini adalah novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer tahun 2003. Novel ini saya pilih untuk dikaji karena novel ini mengangkat masalah perempuan di kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang pada zaman penjajahan Belanda. Dalam novel ini, pembaca dihadapkan pada ketidakadilan yang dialami oleh perempuan pada zaman penjajahan Belanda. Melalui karya sastra ini pengarang memberikan refleksi kepada pembaca tentang ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan rakyat miskin pada masa itu tanpa dapat melakukan pembelaan. Dalam penelitian ini, saya menggunakan kajian sastra feminis, dengan mempertimbangkan segi-segi feminism. Novel Gadis Pantai ini menurut pengarangnya menggambarkan masyarakat Jawa, antara kaum priyayi dan rakyat jelata pada masa penjajahan dulu. Novel ini menampilkan tokoh utama yang memiliki jiwa penurut, tidak menentang perkataan orang tuanya.
A.    Ketidakadilan Perempuan Sebagai Anak
Perempuan juga sebagai anak dalam sebuah keluarga juga sangat berperan. Dalam usia belasan tahun ini, Gadis Pantai dinikahkan dengan seseorang yang belum dikenalnya. Posisi perempuan sebagai sebuah properti yang pindah tangan dari kepemilikan bapak menjadi milik suami tampak pada bagian awal cerita. Umumnya perempuan sebagai anak adalah menurut terhadap segala keinginan orang tuanya, dan tidak dapat menolak. Seperti dalam novel gadis pantai dalam kutipan berikut.
“Maka pada suatu hari perutusan seseorang itu datang ke rumah orangtua gadis. Dan beberapa hari setelah itu sang gadis harus tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya, kampungnya sendiri dengan bau amis abadinya. Ia harus lupakan jala yang setiap pecan diperbaikinya, dan layar tua yang tergantung di dapur, juga bau laut tanahairnya.” (Gadis Pantai:12)

B.     Ketidakadilan Perempuan Sebagai Budak
Perempuan sebagai budak seringkali di sia-sia, harus mematuhi segala perintah majikannya dan tidak diperkenankan menjawab segala sesuatu dengan seenaknya, dalam novel ini perempuan sebagai budak hanya diperbolehkan menyebutkan aku itu dengan “sahaya” dan terlihat pada kutipan berikut.
“Sahaya?”
Kembali bujang itu tertawa terkekeh ditekan. Membenarkan. “Pada aku ini Mas Nganten tidak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Gadis Pantai:27)


“Dirampasnya anak sahaya, dirampasnya suami sahaya. Dan suami sahaya yang kemudian. Ke mana lagi perginya sahaya ini, kalau sudah tidak sanggup lagi layani Bendoro?” (Gadis Pantai:97)

C.    Ketidakadilan Perempuan Sebagai Orang Kampung
Perempuan diperlakukan tidak adil hanya karena berasal dari kampung dan diperlakukan semena-mena seperti dalam kutipan berikut ini.
Kembali Gadis Pantai bertanya, “Jadi, aku bukan istri Bendoro?”
“Istri, ya, istri, Mas Nganten, Cuma namanya istri percobaan.’
“Lantas kau dapat perintah mengusir aku, biar Bendoromu dapat kawin dengan wanita berbangsa, bukan? Ah, ah, aku bisa menetap di kampung ini, kampungku sendiri. Kau boleh pulang. Jangan ikut masuk kampung”. (Gadis Pantai:156)

“Lantas, apa saja yang ada dalam kehidupan Mas Nganten?”
“Setelah lebih dari dua tahun tinggal di gedung, tahulah aku, kami Cuma punya kemiskinan, kehinaan, dan ketakutan terutama pada orang kota. Di kampung kami tahu benar tepung udang dibayar sebenggol, padahal mestinya empat sen. Itu tidak layak, tidak adil. Tapi lihatlah diriku ini. Bukan lagi tepung udang. Manusia! Aku tak bisa dipungut begitu saja dari kampung, di simpan di dalam gedung. Kau, kau orang kota, apa yang kau tahu tentang orang kampung?” (Gadis Pantai:157)
Daerah asal Gadis Pantai dianggap begitu rendah oleh Bendoro.
“… Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai ini. Sama saja. Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka miskin.” (Gadis Pantai:41)

“Bendoro sahaya, ya, Bendoro sendiri”
“Dan aku?”
“Ah, Mas Nganten. Mas Nganten kan orang kampung?” (Gadis Pantai:124)


D.    Ketidakadilan Perempuan Berdasarkan Kelas Sosial
Dalam novel Gadis Pantai, tokoh Bendoro mewakili priyayi Jawa. Bendoro mengambil Gadis Pantai untuk menjadi teman seranjangnya saja. Dan Gadis Pantai disini sebagai perwakilan rakyat kecil yang hidup dalam kelemahan serta tidak berdaya melawan konstruksi social pada masa itu. Bendoro meminang Gadis Pantai hanya dengan sebilah keris dalam kutipan berikut ini.
“ kemarin malam  ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu , kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris. Wakil seseorang yang tak pernag dilihatnya hidup.” (Gadis Pantai: 12)

“Kau pikir apa kami ini? Orang kampung? Orang dusun? Orang pantai yang tak pernah lihat duit?”
“Apa ini semua maksudnya menghina kami?” yang lain lagi menyerang (Gadis Pantai:112)

Ketidakadilan karena status juga sangat mencolok dalam kehidupan perempuan budak. Ketika berkata jujur dan ingin menolong namun malah diusir seperti dalam kutipan berikut.
“Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakkan kaki di rumah ini, jangan pula di pekarangannya”
“Sahaya, Bendoro” (Gadis Pantai:120)

Dengan adanya ketidakadilan seorang berkelas atas dan kelas bawah menjadikan adanya deskriminasi yang menjadikan seseorang tidak layak karena status yang dimiliki tidak sama. Seperti dalam kutipan berikut.
“… itu tidak layak bagi wanita utama, Mas Nganten. Wanita utama cukup menggerakkan jari dan semua akan terjadi. Tapi sekarang ini, sahaya inilah yang mengurus Mas Nganten. Sebelum Bendoro memberi izin, Mas Nganten belum bisa bertemu. Mari sahaya mandikan. Pakai selop itu” (Gadis Pantai:28)

Dan juga perbedaan kelas inilah yang memberikan jurang pemisah sehingga perempuan golongan kelas atas tidak boleh berteman dengan yang tidak sederajat seperti dalam kutipan.
“Dan sekarang Gadis Pantai mulai tertegun. Ia mulai mengerti, disini ia tak boleh punya kawan seorang pun yang sederajat…..” (Gadis Pantai:46)

Ketika seseorang menjadi kalangan bangsawan maka emaknya pun juga berbeda kelas dengan Gadis Pantai.
“Biarlah emak kawani aku di sini, kalau aku tidak boleh tidur di kamar dapur.”
“itu tidak layak bagi wanita utama”
“dia emakku, emakku sendiri mbok”
“Begitulah Mas Nganten, biar emak sendiri, kalau emaknya orang kebanykan, dia tetap seorang sahaya” (Gadis Pantai:58)


E.     Ketidakadilan Perempuan Sebagai Istri
Pada kenyataan sebenarnya perempuan sebagai istri adalah melayani suami, dengan cinta dan kasih saying istri. Dalam novel ini istri hanya diizinkan untuk menurut saja pada Bendoro. Karena ini tidak seperti suami-istri  namun seperti budak dan majikan.
“Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang pada dia?” (Gadis Pantai:14)

Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa sebagai istri hanya menganut oleh kebaikan suami. Jika suami baik istri juga akan baik begitu pula sebaliknya. Disini dijelaskan bahwa tidak adanya keadilan jika suami buruk namun istrinya yang baik akan tetap buruk pula.
“… Dalam beberapa minggu ini setapak demi setapak ia dipimpin untuk mengerti bahwa satu-satunya yang ia boleh dan harus kerjakan ialah mengabdi pada Bendoro, dan Bendoro itu tak lain dari suaminya sendiri” (Gadis Pantai:67)

Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa tugas Gadis Pantai sebagai istri hanya mengabdi layaknya budak kepada Bendoro.
“Perempuan ini diciptakan ke bumi, Mas Nganten, barangkali memang buat dipukul lelaki. Karena itu jangan bicarakan itu Mas Nganten. Pukulan itu apalah artinya kalau dibandingkan dengan segala usaha buat bininya, buat anak-anaknya. Kalau saja Tuhan dulu mengurniakan sahaya anak ...” (Gadis Pantai:95)
Kutipan tersebut menjelaskan sebagai istri harus pasrah dengan apa yang dilakukan suami meski harus dipukul sekalipun. 
“Tapi kau anaknya, kau bukan hanya istriku”
“Sekarang ini kewajiban sahaya adalah mengabdikan diri pada Bendoro. Orangtua sahaya dapat menolong diri sendiri tanpa sahaya, Bendoro” (Gadis Pantai:108)
“Subuh hari waktu ia terbangun, didengarnya suara Bendoro yang sedang mengaji. Suamiku! Ah, Suamiku! Tidak, dia bukan suamiku, dia Bendoroku, yang dipertuanku, rajaku. Aku bukan istrinya. Aku Cuma budak sahaya yang hina-dina” (Gadis Pantai:248)

F.     Ketidakadilan Perempuan Sebagai Ibu
Perempuan sebagai ibu sudah tentu sangat menyayangi anaknya dan rela melakukan apapun agar anaknya bahagia dan hidup lebih baik dari ibunya. Dalam novel ini ada kutipan sebagai berikut.
“Tapi anak ini, anak ini, dia akan bernasib lebih baik dari ibunya. Dan takkan dilahirkan di sebuah kampung nelayan ...”(Gadis Pantai:249)

Adapun ketidakadilan perempuan sebagai ibu adalah ketika anaknya adalah perempuan. Karena dalam kalangan priyayi anak laki-lakilah yang akan didambakan.
“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?”
“Sahaya, Bendoro”
“Jadi Cuma perempuan?” (Gadis Pantai: 253)

Kutipan diatas menjelaskan bahwa Bendoro meremehkan Gadis Pantai yang hanya melahirkan anak perempuan, karena perbedaan gender laki-laki dan perempuan sangat mencolok. Laki-laki bisa melakukan segala hal sedangkan perempuan tidak.
“Sahaya adalah emaknya, sahaya yang hina ini, tuanku. Bagaimana sahaya harus urus dia di kampung nelayan sana?.......”
“Aku tak suruh kau asuh anakku”
“Haruskah sahaya pergi tanpa anak sahaya sendiri, tuanku?” (Gadis Pantai: 257)


Kutipan tersebut menjelaskan bahwa ketidakadilan gender pada perempuan juga terlihat ketika Bendoro menyuruh Gadis Pantai untuk meninggalkan anaknya sehingga Gadis Pantai tidak diperkenankan membawa darah dagingnya sendiri.
“Lupakan bayimu, anggap kau tak pernah punya anak” (Gadis Pantai:258)

Perempuan sebagai ibu yang sangat menyayangi anaknya selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada anaknya. Ia rela kehilangan segalanya. Seperti kutipan berikut.
“Apa yang takkan kuberikan kepadamu, nak? Apa yang takkan kukurbankan? Sekarang, sekarang hakku sebagai ibumu pun kurelakan buat kau!” (Gadis Pantai: 259)
“Kau bijaksana nak, Memang tak patut seorang ibu dibatalkan haknya sebagai ibu. Tidak patut. Tidak patut!...” (Gadis Pantai:260)
“Bayi ini anakku bapak, aku rela diperintahnya” (Gadis Pantai:261)
“… Dia butuhkan dada emaknya, Ah, besok dia takkan minum susu emaknya lagi. Bapak tak mengerti ini?” (Gadis Pantai: 262)

Ketidakadilan perempuan sebagai ibu yang menginginkan kebahagiaan bersama anaknya pun terlihat dengan adanya kutipan yang menerangkan bahwa Gadis Pantai dituduh maling, maling anaknya sendiri seperti berikut ini.
“Semua kutinggal di kamar. Aku Cuma bawa anakku sendiri. Cuma anakku sendiri” kakinya menyepak tapi bujang-bujang lain mendesak
“Maling!” bentak Bendoro (Gadis Pantai: 264)

Kesimpulan
Terjadinya ketidakadilan gender dalam masyarakat disebabkan karena nilai budaya yang sudah mengakar dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, terutama di Indonesia. Dengan adanya ketidakadilan inilah menyebabkan adanya deskriminasi terhadap perempuan seperti kekerasan, pelecehan dan beban kerja yang berat bagi perempuan
Dalam novel Gadis Pantai, Pramoedya menunjukan kelemahan akar budaya yang salah, dimana dalam konstruksinya perempuan menjadi korban utama nilai-nilai yang sudah dianut ini.  Bentuk-bentuk ketidakadilan dalam novel ini menuturkan betapa Gadis Pantai tidak berdaya melawan takdir yang menimpanya ketika dinikahi sementara oleh Bendoro yang merupakan Priyayi yang kaya raya dan berpendidikan

Daftar Pustaka
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera.








Minggu, 05 Juni 2016

Mama

Diposting oleh Riska Febryanti di 19.48 0 komentar
Kata mama, mama tidak akan pernah pergi.
Selalu sama aku, selalu bicara panjang lebar tentang kehidupan. Tapi mama pergi. Aku tahu bukan karena mama jahat tidak menepati janji. Tapi mungkin mama lupa karena dunia disana jauh lebih indah daripada disini bersamaku.

Mama pernah cerita bahwa carilah orang yang mencintaiku bukan yang aku cintai. Aku belum pernah menemukan. Sekalinya aku menemukan pasti aku lebih memilih yang aku cintai. Mama benar bahwa aku salah.

Mama selalu mengelus rambutku dan meniup keningku saat aku merasa gerah, mungkin dia pikir aku bisa lebih sejuk dengan sedikit angin yang dihasilkannya. Mama benar. Aku terlelap.

Mama suka sekali masak, baru detik-detik terakhir saja aku diajari, tapi tidak semua. Sekarang aku bisa masak tapi hanya yang mama ajari. Aku ingin pintar memasak. Aku ingin jadi mama. Jadi mama yang baik. Aku mau seperti mama.

Mama. Aku mau bertemu mama.

Rabu, 04 Mei 2016

mimpi

Diposting oleh Riska Febryanti di 02.11 0 komentar
aku ingin membuatkanmu rumah jamur dengan atap merah polkadot, ingat ya! aku yang mebuatkan. bukan kamu! jangan sesekali mewujudkan mimpiku, aku ingin aku saja yang mewujudkan.
kita buat rumah itu menjadi rumah kurcaci, mengapa aku menyukai kurcaci? jawabannya mudah karena kurcaci setia menemani putri salju. aku juga ingin memunyai kurcaci-kurcaci yang setia.

dengan taman bunga, aku ingin bunga dengan warna putih, warna Tuhan. banyak sekali yang membuatku membanggakan warna putih. 
aku ingin berpagar kayu saja. sehingga para ilalang tidak akan masuk kedalam kebunku. 

aku tau kau ingin pula membangun kastil, tapi bolehkah kastil dan rumah jamur itu bersebelahan agar adanya kehidupan? bolehkah kita menjadi bersahabat karena bersebelahan? 
aku ingat kau menyanjungku dengan dongeng-dongengmu yang membuatku geli.
namun aku akan menyanjungmu dengan bangunan yang akan aku tawarkan, setuju? 

sekarang pejamkan matamu, dan akan aku buatkan segala keinginanmu. 
didalam perbedaan ruang dan waktu, didalam tempat dimana semua orang tidak ingin pergi.
.
.
.
.
mimpi.

Jumat, 22 April 2016

Ah Sierra, Bolehkah?

Diposting oleh Riska Febryanti di 19.12 0 komentar
Hai sierra? mengapa kamu selalu membanggakan warna putih? bahkan kali ini saja aku masih belum menemukan dimana titik keindahan pada warna putih.
Sierra.
aku tau bahwa kamu malaikat khayalan, namun bolehkah aku bertanya?
mengapa galaksi bima sakti mengadakan rotasi? apakah perputaran pada poros itu bisa dikatakan indah?
Sierra, ada yang bilang bintang itu tidak nyata hanya pantulan cahaya yang semu
tapi aku tidak berfikir demikian, bagiku bintang mampu memamcarkan cahayanya sendiri
bukankah begitu? bagaimana menurutmu? apakah kamu akan menjawab secara restorasi? seperti jawabanmu pada elphira?

mengapa malaikat duduk diatas pelangi dan jika pelangi tidak ada kemana malaikat akan bernyanyi? tentu saja dibintang!
aku tahu pelangi hanya sesaat dan akan tergantikan oleh bintang
namun bintang yang aku maksud sedang berusaha mendapatkanku Sierra kau tau?
aku begitu takut bahwa dia hanya terobsesi, seperti pelangiku dulu.
keindahan sesaat.
aku takut Sierra.

begitu mencolok perbedaan pelangi dan bintang,
aku ingin bintang itu sepertimu.
malaikat khayalan yang menjaga.
Bolehkah?
 

Riska Febryanti © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor