Senin, 20 November 2017

SUKU BANGSA TAK SENADA

Diposting oleh Riska Febryanti di 09.05

"ini budayaku. ya! aku pancen wong Jowo!" teriakku dalam hati. 


             Malam ini aku teringat akan lelaki yang 5 tahun silam sedang menempuh gelar sarjana di salah satu universitas ternama di kota Yogya. Idam namanya. tapi aku sering memanggilnya dengan sebutan "Amang" atau dalam bahasa Banjar adalah panggilan untuk laki-laki yang lebih tua. Ia berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur yang lebih tepatnya ia tinggal di Jalan Kadrie Oening GG. Respen, Air Hitam, Samarinda Ulu. Aku memang belum pernah menginjakkan kakiku di ibu kota Kalimantan Timur itu. Namun, aku menghafal alamatnya, aku menghafal keluarganya, aku belajar bahasanya meski aku ini wong Jowo. Bahkan, aku tau dan ingat betul bahwa ia suka makanan pedas-asin. Ibunya Banjar-Kutai dan bapaknya adalah orang Jawa yang lahir di kota Yogyakarta. Ya, kota istimewa penuh cinta dan juga bisa dibilang kota yang menjadi pusat bapia pathok dan Yogyakarta adalah kotaku. kota dimana aku tinggal dan kota dimana aku  bertemu dengan Idam. Aku memang lahir di Malang, Jawa Timur. Namun, setelah lulus SMP ayahku dipindah tugaskan di Yogyakarta. Aku senang bapaknya adalah orang Jawa sehingga Idam bukan Banjar tulen. meski bagiku dibilang Jawa pun ia tak pantas karena kulitnya yang risik dan mukanya yang memang tidak seperti orang Jawa. Sempat aku bertanya "kamu lebih suka disebut suku Jawa atau suku banjar?" namun Idam hanya tersenyum melihatku yang sedang tenggelam dalam pertanyaanku sendiri. Aku suka ketika ia diam. aku suka ketika ia lebih banyak tersenyum melihat celotehanku. sempat pula aku bertanya padanya "Dam, kenapa kamu pendiam?" dan tanpa diduga ia menjawab "karena waktu kecil aku sangat berisik, hingga mamak dan abah menegurku karena terlalu berisik, sejak saat itu aku lebih banyak diam" aku memperhatikan Idam bercerita singkat namun jelas isinya. aku mengangguk mengiyakan. aku menyukainya. aku menyukai kebudayaannya. 

               Kami berteman sejak duduk di semester 1 yang tidak sengaja kenal lewat teman SMA ku bernama Aryo yang ternyata adalah teman kuliah Idam. Mereka berdua menempuh kuliah di UGM dan mengambil jurusan Teknik Industri sedangkan aku kuliah di UNY fakultas bahasa dan seni dan mengambil jurusan Sastra Indonesia. 

"Ayu! gimana kabarnya tho? pangling aku!" Aryo memanggilku ramah di Angkringan dekat Malioboro.
"Baik yo, kamu kuliah dimana sekarang?" jawabku dengan tak kalah ramah. 
"Aku kuliah di UGM Yu, kata anak-anak kamu keterima di UNY? Selamat ya?" Aryo menjabat tanganku dan aku menyambut tangan itu dan mengucapkan terimakasih. Aryo memang baik. 

Namun, mataku menangkap sosok tinggi jakung berkacamata dengan kulit bersih yang duduk di sebelahnya. Ia tampak sibuk dengan  kopinya tanpa memperdulikan aku yang sedang berbincang dengan Aryo. tidak lama setelah itu Aryo mengenalkanku dengan lelaki itu. "Oh Iyo aku lali. kenalin iki koncoku satu kampus, namanya Idam" lak-laki jakung itu menoleh dengan senyum ramah sambil menyalamiku "Idam" aku balas menjabatnya "Ayu, salam kenal" Aryo mengajakku bergabung bersama mereka namun aku harus segera pulang karena ibuku menitip wedang jahe di angkringan langganannya ini. 

Pertemuan singkat yang menyebabkan aku dan Idam berteman, kami menjadi sering bertemu ntah nonton bioskop, makan di angkringan, atau sekedar jalan-jalan menyusuri jalan malioboro. Idan menjelaskan budayanya tidak jauh beda dengan Jawa. "Ketika akan menjelang bulan Ramadhan, di rumahku juga ada slametan, sama aja seperti disini" Idam menjelaskan dengan meminum Coca-cola yang baru saja ia beli. malam itu kami berada di Plaza Ambarukmo. 

"Dam, ajari aku bahasa banjar. aku mau kita bicara pakai bahasa banjar" ujarku dengan mimik muka mengharap. lagi-lagi ia tersenyum.
"Buat apa? kita bisa lancar bahasa Indonesia, dan semisal kamu pakai bahasa Jawa pun aku paham meski aku tidak bisa membalas menggunakan bahasa Jawa. aneh rasanya"
"Tapi aku ingin tau tentang daerahmu, aku ingin tau lebih banyak" aku menjawab dengan nada jutek. Idam mengacak-acak rambutku.
"Baiklah, dasarnya saja. Ulun itu berarti aku, ikam itu kamu tapi ada juga bahasa banjar yang lebih halus yaitu pian". Idam menjelaskan beberapa kosa-kata bahasa Banjar yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. aku mengamatinya dengan tersenyum. "Atau kamu bisa memanggilku dengan Amang yang memiliki arti laki-laki yang lebih tua" aku mengangguk tanda setuju. begitulah asal mula aku memanggilnya Amang.

            Aku dan Idam semakin dekat dan selalu bersama. hingga suatu saat hal yang tidak aku duga terjadi. 
"Yu, sepertinya aku harus pulang ke Samarinda minggu ini. mamak sakit. kau tak apakah sendiri di sini?"
dengan khawatir aku menjawab "Astaghfirullah, sakit apa dam? ora popo. pulanglah!" 
aku dengan Idam memang berteman namun semua orang tahu aku dan Idam saling menyayangi meski belum menyandang status pacaran.

           Hari berganti hari setelah Idam pulang ke Samarinda. Aku menjalani hariku dengan biasanya. sesekali Idam menghubungiku lewat telepon. Aku gembira. Aku berharap ketika ia kembali ke Yogyakarta ia bercerita tentang keluarganya di Kalimantan. Aku berharap ia menceritakanku pada keluarganya. Namun, setelah telpon nya yang terakhir, Idam belum menghubungiku selama 2 minggu ini, aku khawatir ada apa. aku telepon namun selalu sibuk. aku sangat khawatir. 

            Pagi hari, aku bangun dengan muka malas. Hari ini hari minggu tentu saja aku sedang libur kuliah, dan aku sudah sikat gigi. Setelah keluar dari kamar mandi aku menemui sosok lelaki yang menyita banyak pikiranku sedang duduk di ruang tamu, aku kaget sekali tapi aku bahagia. Dari mimik wajahnya aku melihat bahwa ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja. Aku melangkahkan kakiku mendekatinya. Dengan tenang Idam tersenyum tipis.
“Hai Ayu, bagaimana kabarmu? Bisa keluar sebentar?” aku menjawab dengan nada pura-pura ngambek
“Jahat, pian kada menelpon sama sekali!” ujaku menggunakan bahasa banjar yang berarti dia tidak menelponku sama sekali.
“Aku akan menjelaskan, bisa keluar sebentar tidak Bungas?” ia memanggilku dengan sebutan bungas yang berarti cantik. Aku mandi dan siap-siap keluar dengan hati bahagia. Entah mengapa jika bertemu dengannya aku tidak pernah bisa marah.

            Sepanjang perjalanan Idam membisu, jalan-jalan menjadi saksi saat itu. Bau tanah masih semerbak karena belum kering terguyur hujan. Kami belok ke Jalan Janderal Ahmad Yani dan berhenti di sebuah cafe bertuliskan “Indische Koffie” tempatnya bagus dengan kursi putih tinggi dan disuguhi pemandangan taman yang begitu indah.
“Yu, aku mau bicara” ucapnya lirih. Jantungku berdtak tidak karuan, tanganku bergemetar. Aku dan Idam memang sudah seperti anak pacaran namun aku menduga saat ini ia akan memintaku menjadi pacarnya. Aku senang luar biasa. Namun, dari mimiknya mengapa aku melihat ada sesuatu yang bukan aura kebahagiaan.
“Ada apa dam? Kadada masalah kah?” ujarku menggunakan bahasa banjar yang memiliki arti tidak ada masalah kah?
Idam diam.
“Cerita dam ada apa? Jangan diam saja. Aku khawatir kamu tidak memberiku kabar sama sekali?” aku mendesaknya agar menceritakan hal apa yang akan dibicarakan.
Matanya berkaca-kaca, aku dapat melihatnya jelas di belik kacamatanya yang mengembun. Idam melepas kacamatanya dan memijat keningnya dengan tangan. Aku terpekik, selama satu tahun ini belum pernah aku melihatnya menangis.
aku tresno kowe yu” kata-kata itu menghujam jantungku, seperti dugaanku akhirnya ia mengatakannya.
“tapi, aku gak bisa sama kamu” lanjutnya. Jika ada petir pasti petir itu sudah menyambar dadaku ini. Sakit sekali.
Aku diam. Aku menduduk.
“aku tidak tahu harus mengawalinya bagaimana. Kau tahu kan ibuku banjar-kutai dan ayahku Jawa. Memang di Kalimantan tidak ada larangan untuk menikah dengan orang Jawa. Tapi dalam keluargaku haram hukumnya. Kemarin aku pulang karena mamak sakit. Ternyata mamak melihat foto kita berdua di akun instagramku yang aku unggah beberapa waktu lalu. Mamak tau bahwa kamu adalah keturunan Jawa tulen. Aku sempat bertengkar di telepon hingga mamak jatuh sakit dan abah menyuruhku pulang”
Penjelasannya menyesakkan dadaku, ingin aku menangis. Tapi kutahan. Satu tahun bukan waktu yang cukup singkat dan banyak sekali kenanganku bersamanya.
“apa salahnya dengan orang Jawa? Kami sopan kami punya unggah-ungguh. Dan orang tuamu belum mengenalku”
“waktu itu mamak menikah dengan abah meski telah ditentang keras dengan keluarga besar. Karena nenek pernah ditipu dengan orang Jawa dan harta bendanya habis atau biasa orang jawa mengatakan Ludes. Sejak saat itu keluarga kami menjadi amat miskin tidak sepeti sekarang ini. Kakek dan nenek memulai lagi usaha “amplang” dan tentu saja keluagaku sangat membenci orang Jawa” ia berhenti sejenak dan meminum es jeruk yang telah dipesan.
“hingga saat mamak memutuskan mencintai orang Jawa, seluruh keluarga besar murka dan mengusir mamak dari rumah bahkan tidak menganggap anak lagi. Hingga aku lahir, wajahku begitu mirip dengan keluarga mamak dan aku benar-benar banjar. Nenek dan kakek sangat menyayangiku dan mereka melupakan amarahnya terhadap mamak. Tapi tetap tidak menerima abahku. Ketika ada acara keluarga. Aku dan mamak yang diundang”
Panjang lebar Idam menjelaskan, dan air mataku tidak bisa terbendung lagi. Aku menangis. Pipiku basah. Aku tahu apa yang akan dikatakannya selanjutnya. Aku tahu. Aku paham. “Tolong jangan dilanjutkan” pintaku dalam hati.
“Ayu, kamu tahu kan aku harus berbakti kepada orang tua. Mamak menasehatiku agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Mamak tau aku sangat mencintaimu tapi aku terpaksa mengatakan ini. Kita berpisah saja meski dimulaipun saja belum” Idam mengatakan itu dengan cucuran air mata yang tak kalah derasnya denganku.
            Aku tidak peduli dengan orang yang lalu lalang melihat kami menangis. Aku mencintai budayanya. Sebelumnya aku mencintai Jawa dengan orang-orangnya, musiknya, sopan santunnya. Namun, Idam datang dan aku suka tentang kebudayaannya pula. Tapi apa salahnya dengan suku bangsa yang tidak senada?  "ini budayaku. ya! aku pancen wong Jowo!" teriakku dalam hati. 
            Idam pergi. Idam pulang ke kotanya. Aku mulai menata hidupku lagi. Bukan dengan orang-orang baru tapi dengan semangat yang baru. Aku lewati hari-hariku dengan sabar. Lulus kuliah aku pergi merantau mencari pekerjaan dan tentu saja melupakan Idam. Hingga kini aku menjadi jurnalis di kota Malang, kota kelahiranku. Cukuplah Yogyakarta membesarkanku dan memberikanku pengalaman. Aku tidak membenci orang suku bangsa Banjar. Namun, aku tidak ingin terlalu dekat dengan mereka karena luka masalaluku.
            Malam ini, aku menulis dengan menitikkan kembali air mataku. “meski kita berbeda suku bukankah kita Indonesia?” tanyaku padanya ketika awal berkenalan. “Tentu saja” jawabnya dengan senyum khasnya. Tapi itu hanya kenangan. Dan aku bahagia pernah mengenalnya.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Riska Febryanti © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor