KETIDAKADILAN GADIS AKIBAT
PERBEDAAAN GENDER DALAM NOVEL GADIS PANTAI
Karya: Pramoedya Ananta Toer
Riska
Ida Febriyanti
201510080311053
Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang
Latar Belakang
Karya
sastra digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang
ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini merupakan salah satu faktor
penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur imajinasi. Sastra bisa
mengandung gagasan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap
sosial yang mungkin atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Paham tentang wanita sebagai orang lemah lembut dan sebaliknya pria sebagai
orang yang cerdas, aktif dan sejenisnya selalu mewarnai sastra kita. Ada pula
ketika sastrawan pria bicara tentang perempuan sering tersurat
pemojokan-pemojokan. Nasib perempuan pada pihak yang “minus” atau negatif,
bahkan sering sampai ketitik sengsara batin. Perempuan hanya sekadar objek.
konsep ini telah membelenggu hingga mendorong perempuan kesudut keterpurukan
nasib. Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam
memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini
dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan
tentang manusia dan kemanusiaan.
Karya
sastra yang saya kaji dalam penelitian ini adalah novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer tahun 2003. Novel ini saya pilih untuk dikaji karena
novel ini mengangkat masalah perempuan di kampung nelayan di Jawa Tengah,
Kabupaten Rembang pada zaman penjajahan Belanda. Dalam novel ini, pembaca
dihadapkan pada ketidakadilan yang dialami oleh perempuan pada zaman penjajahan
Belanda. Melalui karya sastra ini pengarang memberikan refleksi kepada pembaca
tentang ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan rakyat miskin pada masa
itu tanpa dapat melakukan pembelaan. Dalam penelitian ini, saya menggunakan
kajian sastra feminis, dengan mempertimbangkan segi-segi feminism. Novel Gadis
Pantai ini menurut pengarangnya menggambarkan masyarakat Jawa, antara kaum
priyayi dan rakyat jelata pada masa penjajahan dulu. Novel ini menampilkan
tokoh utama yang memiliki jiwa penurut, tidak menentang perkataan orang tuanya.
A.
Ketidakadilan
Perempuan Sebagai Anak
Perempuan juga sebagai anak dalam sebuah keluarga
juga sangat berperan. Dalam usia
belasan tahun ini, Gadis Pantai dinikahkan dengan seseorang yang belum
dikenalnya. Posisi perempuan sebagai sebuah properti yang pindah tangan dari
kepemilikan bapak menjadi milik suami tampak pada bagian awal cerita. Umumnya
perempuan sebagai anak adalah menurut terhadap segala keinginan orang tuanya,
dan tidak dapat menolak. Seperti dalam novel gadis pantai dalam kutipan
berikut.
“Maka pada suatu hari perutusan seseorang itu datang
ke rumah orangtua gadis. Dan beberapa hari setelah itu sang gadis harus
tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya, kampungnya sendiri dengan bau amis
abadinya. Ia harus lupakan jala yang setiap pecan diperbaikinya, dan layar tua
yang tergantung di dapur, juga bau laut tanahairnya.” (Gadis Pantai:12)
B.
Ketidakadilan
Perempuan Sebagai Budak
Perempuan sebagai budak seringkali di sia-sia, harus
mematuhi segala perintah majikannya dan tidak diperkenankan menjawab segala
sesuatu dengan seenaknya, dalam novel ini perempuan sebagai budak hanya
diperbolehkan menyebutkan aku itu dengan “sahaya” dan terlihat pada kutipan
berikut.
“Sahaya?”
Kembali
bujang itu tertawa terkekeh ditekan. Membenarkan. “Pada aku ini Mas Nganten
tidak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk
Mas Nganten.” (Gadis Pantai:27)
“Dirampasnya
anak sahaya, dirampasnya suami sahaya. Dan suami sahaya yang kemudian. Ke mana
lagi perginya sahaya ini, kalau sudah tidak sanggup lagi layani Bendoro?” (Gadis Pantai:97)
C.
Ketidakadilan
Perempuan Sebagai Orang Kampung
Perempuan diperlakukan tidak adil hanya karena
berasal dari kampung dan diperlakukan semena-mena seperti dalam kutipan berikut
ini.
Kembali
Gadis Pantai bertanya, “Jadi, aku bukan istri Bendoro?”
“Istri,
ya, istri, Mas Nganten, Cuma namanya istri percobaan.’
“Lantas
kau dapat perintah mengusir aku, biar Bendoromu dapat kawin dengan wanita
berbangsa, bukan? Ah, ah, aku bisa menetap di kampung ini, kampungku sendiri.
Kau boleh pulang. Jangan ikut masuk kampung”. (Gadis Pantai:156)
“Lantas,
apa saja yang ada dalam kehidupan Mas Nganten?”
“Setelah
lebih dari dua tahun tinggal di gedung, tahulah aku, kami Cuma punya
kemiskinan, kehinaan, dan ketakutan terutama pada orang kota. Di kampung kami
tahu benar tepung udang dibayar sebenggol, padahal mestinya empat sen. Itu
tidak layak, tidak adil. Tapi lihatlah diriku ini. Bukan lagi tepung udang.
Manusia! Aku tak bisa dipungut begitu saja dari kampung, di simpan di dalam
gedung. Kau, kau orang kota, apa yang kau tahu tentang orang kampung?” (Gadis Pantai:157)
Daerah asal Gadis Pantai dianggap begitu rendah oleh
Bendoro.
“… Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai
ini. Sama saja. Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datang ke
kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela,
tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran,
orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka
miskin.” (Gadis Pantai:41)
“Bendoro sahaya, ya, Bendoro sendiri”
“Dan aku?”
“Ah, Mas Nganten. Mas Nganten kan orang
kampung?” (Gadis Pantai:124)
D. Ketidakadilan Perempuan Berdasarkan Kelas Sosial
Dalam novel Gadis
Pantai, tokoh Bendoro mewakili priyayi Jawa. Bendoro mengambil Gadis Pantai
untuk menjadi teman seranjangnya saja. Dan Gadis Pantai disini sebagai
perwakilan rakyat kecil yang hidup dalam kelemahan serta tidak berdaya melawan
konstruksi social pada masa itu. Bendoro meminang Gadis Pantai hanya dengan
sebilah keris dalam kutipan berikut ini.
“
kemarin malam ia telah dinikahkan.
Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu , kini ia bukan anak
bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris. Wakil
seseorang yang tak pernag dilihatnya hidup.” (Gadis Pantai: 12)
“Kau
pikir apa kami ini? Orang kampung? Orang dusun? Orang pantai yang tak pernah
lihat duit?”
“Apa
ini semua maksudnya menghina kami?” yang lain lagi menyerang (Gadis Pantai:112)
Ketidakadilan karena
status juga sangat mencolok dalam kehidupan perempuan budak. Ketika berkata
jujur dan ingin menolong namun malah diusir seperti dalam kutipan berikut.
“Pergi
kau. Sekarang juga tak perlu injakkan kaki di rumah ini, jangan pula di
pekarangannya”
“Sahaya,
Bendoro” (Gadis Pantai:120)
Dengan adanya
ketidakadilan seorang berkelas atas dan kelas bawah menjadikan adanya
deskriminasi yang menjadikan seseorang tidak layak karena status yang dimiliki
tidak sama. Seperti dalam kutipan berikut.
“…
itu tidak layak bagi wanita utama, Mas Nganten. Wanita utama cukup menggerakkan
jari dan semua akan terjadi. Tapi sekarang ini, sahaya inilah yang mengurus Mas
Nganten. Sebelum Bendoro memberi izin, Mas Nganten belum bisa bertemu. Mari
sahaya mandikan. Pakai selop itu” (Gadis
Pantai:28)
Dan juga perbedaan kelas
inilah yang memberikan jurang pemisah sehingga perempuan golongan kelas atas
tidak boleh berteman dengan yang tidak sederajat seperti dalam kutipan.
“Dan
sekarang Gadis Pantai mulai tertegun. Ia mulai mengerti, disini ia tak boleh
punya kawan seorang pun yang sederajat…..” (Gadis
Pantai:46)
Ketika seseorang menjadi
kalangan bangsawan maka emaknya pun juga berbeda kelas dengan Gadis Pantai.
“Biarlah
emak kawani aku di sini, kalau aku tidak boleh tidur di kamar dapur.”
“itu
tidak layak bagi wanita utama”
“dia
emakku, emakku sendiri mbok”
“Begitulah
Mas Nganten, biar emak sendiri, kalau emaknya orang kebanykan, dia tetap seorang
sahaya” (Gadis Pantai:58)
E. Ketidakadilan Perempuan Sebagai Istri
Pada kenyataan
sebenarnya perempuan sebagai istri adalah melayani suami, dengan cinta dan
kasih saying istri. Dalam novel ini istri hanya diizinkan untuk menurut saja
pada Bendoro. Karena ini tidak seperti suami-istri namun seperti budak dan majikan.
“Beruntung
kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali
khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita,
baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang pada dia?” (Gadis Pantai:14)
Dalam kutipan tersebut
dijelaskan bahwa sebagai istri hanya menganut oleh kebaikan suami. Jika suami
baik istri juga akan baik begitu pula sebaliknya. Disini dijelaskan bahwa tidak
adanya keadilan jika suami buruk namun istrinya yang baik akan tetap buruk
pula.
“…
Dalam beberapa minggu ini setapak demi setapak ia dipimpin untuk mengerti bahwa
satu-satunya yang ia boleh dan harus kerjakan ialah mengabdi pada Bendoro, dan
Bendoro itu tak lain dari suaminya sendiri” (Gadis Pantai:67)
Dalam kutipan tersebut
menjelaskan bahwa tugas Gadis Pantai sebagai istri hanya mengabdi layaknya
budak kepada Bendoro.
“Perempuan
ini diciptakan ke bumi, Mas Nganten, barangkali memang buat dipukul lelaki.
Karena itu jangan bicarakan itu Mas Nganten. Pukulan itu apalah artinya kalau
dibandingkan dengan segala usaha buat bininya, buat anak-anaknya. Kalau saja
Tuhan dulu mengurniakan sahaya anak ...” (Gadis
Pantai:95)
Kutipan tersebut
menjelaskan sebagai istri harus pasrah dengan apa yang dilakukan suami meski
harus dipukul sekalipun.
“Tapi
kau anaknya, kau bukan hanya istriku”
“Sekarang
ini kewajiban sahaya adalah mengabdikan diri pada Bendoro. Orangtua sahaya
dapat menolong diri sendiri tanpa sahaya, Bendoro” (Gadis Pantai:108)
“Subuh
hari waktu ia terbangun, didengarnya suara Bendoro yang sedang mengaji.
Suamiku! Ah, Suamiku! Tidak, dia bukan suamiku, dia Bendoroku, yang
dipertuanku, rajaku. Aku bukan istrinya. Aku Cuma budak sahaya yang hina-dina”
(Gadis Pantai:248)
F. Ketidakadilan Perempuan Sebagai Ibu
Perempuan sebagai ibu
sudah tentu sangat menyayangi anaknya dan rela melakukan apapun agar anaknya
bahagia dan hidup lebih baik dari ibunya. Dalam novel ini ada kutipan sebagai
berikut.
“Tapi
anak ini, anak ini, dia akan bernasib lebih baik dari ibunya. Dan takkan
dilahirkan di sebuah kampung nelayan ...”(Gadis
Pantai:249)
Adapun ketidakadilan
perempuan sebagai ibu adalah ketika anaknya adalah perempuan. Karena dalam
kalangan priyayi anak laki-lakilah yang akan didambakan.
“Jadi
sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?”
“Sahaya,
Bendoro”
“Jadi
Cuma perempuan?” (Gadis Pantai: 253)
Kutipan diatas
menjelaskan bahwa Bendoro meremehkan Gadis Pantai yang hanya melahirkan anak
perempuan, karena perbedaan gender laki-laki dan perempuan sangat mencolok.
Laki-laki bisa melakukan segala hal sedangkan perempuan tidak.
“Sahaya adalah emaknya, sahaya
yang hina ini, tuanku. Bagaimana sahaya harus urus dia di kampung nelayan
sana?.......”
“Aku
tak suruh kau asuh anakku”
“Haruskah
sahaya pergi tanpa anak sahaya sendiri, tuanku?” (Gadis Pantai: 257)
Kutipan tersebut
menjelaskan bahwa ketidakadilan gender pada perempuan juga terlihat ketika
Bendoro menyuruh Gadis Pantai untuk meninggalkan anaknya sehingga Gadis Pantai
tidak diperkenankan membawa darah dagingnya sendiri.
“Lupakan
bayimu, anggap kau tak pernah punya anak” (Gadis
Pantai:258)
Perempuan sebagai ibu
yang sangat menyayangi anaknya selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada
anaknya. Ia rela kehilangan segalanya. Seperti kutipan berikut.
“Apa
yang takkan kuberikan kepadamu, nak? Apa yang takkan kukurbankan? Sekarang,
sekarang hakku sebagai ibumu pun kurelakan buat kau!” (Gadis Pantai: 259)
“Kau
bijaksana nak, Memang tak patut seorang ibu dibatalkan haknya sebagai ibu.
Tidak patut. Tidak patut!...” (Gadis
Pantai:260)
“Bayi
ini anakku bapak, aku rela diperintahnya” (Gadis
Pantai:261)
“…
Dia butuhkan dada emaknya, Ah, besok dia takkan minum susu emaknya lagi. Bapak
tak mengerti ini?” (Gadis Pantai: 262)
Ketidakadilan perempuan
sebagai ibu yang menginginkan kebahagiaan bersama anaknya pun terlihat dengan
adanya kutipan yang menerangkan bahwa Gadis Pantai dituduh maling, maling
anaknya sendiri seperti berikut ini.
“Semua
kutinggal di kamar. Aku Cuma bawa anakku sendiri. Cuma anakku sendiri” kakinya
menyepak tapi bujang-bujang lain mendesak
“Maling!”
bentak Bendoro (Gadis Pantai: 264)
Kesimpulan
Terjadinya
ketidakadilan gender dalam masyarakat disebabkan karena nilai budaya yang sudah
mengakar dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, terutama di Indonesia.
Dengan adanya ketidakadilan inilah menyebabkan adanya deskriminasi terhadap
perempuan seperti kekerasan, pelecehan dan beban kerja yang berat bagi
perempuan
Dalam
novel Gadis Pantai, Pramoedya menunjukan kelemahan akar budaya yang salah,
dimana dalam konstruksinya perempuan menjadi korban utama nilai-nilai yang
sudah dianut ini. Bentuk-bentuk
ketidakadilan dalam novel ini menuturkan betapa Gadis Pantai tidak berdaya
melawan takdir yang menimpanya ketika dinikahi sementara oleh Bendoro yang
merupakan Priyayi yang kaya raya dan berpendidikan
Daftar Pustaka
Toer,
Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai.
Jakarta: Lentera.
0 komentar:
Posting Komentar