Jumat, 16 September 2016

Analisis Karya Sastra dengan Pendekatan Feminisme

Diposting oleh Riska Febryanti di 01.46 0 komentar
KETIDAKADILAN GADIS AKIBAT PERBEDAAAN GENDER DALAM NOVEL GADIS PANTAI
Karya: Pramoedya Ananta Toer
Riska Ida Febriyanti
201510080311053
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang

Latar Belakang
Karya sastra digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini merupakan salah satu faktor penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur imajinasi. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial yang mungkin atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Paham tentang wanita sebagai orang lemah lembut dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif dan sejenisnya selalu mewarnai sastra kita. Ada pula ketika sastrawan pria bicara tentang perempuan sering tersurat pemojokan-pemojokan. Nasib perempuan pada pihak yang “minus” atau negatif, bahkan sering sampai ketitik sengsara batin. Perempuan hanya sekadar objek. konsep ini telah membelenggu hingga mendorong perempuan kesudut keterpurukan nasib. Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan.
Karya sastra yang saya kaji dalam penelitian ini adalah novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer tahun 2003. Novel ini saya pilih untuk dikaji karena novel ini mengangkat masalah perempuan di kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang pada zaman penjajahan Belanda. Dalam novel ini, pembaca dihadapkan pada ketidakadilan yang dialami oleh perempuan pada zaman penjajahan Belanda. Melalui karya sastra ini pengarang memberikan refleksi kepada pembaca tentang ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan rakyat miskin pada masa itu tanpa dapat melakukan pembelaan. Dalam penelitian ini, saya menggunakan kajian sastra feminis, dengan mempertimbangkan segi-segi feminism. Novel Gadis Pantai ini menurut pengarangnya menggambarkan masyarakat Jawa, antara kaum priyayi dan rakyat jelata pada masa penjajahan dulu. Novel ini menampilkan tokoh utama yang memiliki jiwa penurut, tidak menentang perkataan orang tuanya.
A.    Ketidakadilan Perempuan Sebagai Anak
Perempuan juga sebagai anak dalam sebuah keluarga juga sangat berperan. Dalam usia belasan tahun ini, Gadis Pantai dinikahkan dengan seseorang yang belum dikenalnya. Posisi perempuan sebagai sebuah properti yang pindah tangan dari kepemilikan bapak menjadi milik suami tampak pada bagian awal cerita. Umumnya perempuan sebagai anak adalah menurut terhadap segala keinginan orang tuanya, dan tidak dapat menolak. Seperti dalam novel gadis pantai dalam kutipan berikut.
“Maka pada suatu hari perutusan seseorang itu datang ke rumah orangtua gadis. Dan beberapa hari setelah itu sang gadis harus tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya, kampungnya sendiri dengan bau amis abadinya. Ia harus lupakan jala yang setiap pecan diperbaikinya, dan layar tua yang tergantung di dapur, juga bau laut tanahairnya.” (Gadis Pantai:12)

B.     Ketidakadilan Perempuan Sebagai Budak
Perempuan sebagai budak seringkali di sia-sia, harus mematuhi segala perintah majikannya dan tidak diperkenankan menjawab segala sesuatu dengan seenaknya, dalam novel ini perempuan sebagai budak hanya diperbolehkan menyebutkan aku itu dengan “sahaya” dan terlihat pada kutipan berikut.
“Sahaya?”
Kembali bujang itu tertawa terkekeh ditekan. Membenarkan. “Pada aku ini Mas Nganten tidak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Gadis Pantai:27)


“Dirampasnya anak sahaya, dirampasnya suami sahaya. Dan suami sahaya yang kemudian. Ke mana lagi perginya sahaya ini, kalau sudah tidak sanggup lagi layani Bendoro?” (Gadis Pantai:97)

C.    Ketidakadilan Perempuan Sebagai Orang Kampung
Perempuan diperlakukan tidak adil hanya karena berasal dari kampung dan diperlakukan semena-mena seperti dalam kutipan berikut ini.
Kembali Gadis Pantai bertanya, “Jadi, aku bukan istri Bendoro?”
“Istri, ya, istri, Mas Nganten, Cuma namanya istri percobaan.’
“Lantas kau dapat perintah mengusir aku, biar Bendoromu dapat kawin dengan wanita berbangsa, bukan? Ah, ah, aku bisa menetap di kampung ini, kampungku sendiri. Kau boleh pulang. Jangan ikut masuk kampung”. (Gadis Pantai:156)

“Lantas, apa saja yang ada dalam kehidupan Mas Nganten?”
“Setelah lebih dari dua tahun tinggal di gedung, tahulah aku, kami Cuma punya kemiskinan, kehinaan, dan ketakutan terutama pada orang kota. Di kampung kami tahu benar tepung udang dibayar sebenggol, padahal mestinya empat sen. Itu tidak layak, tidak adil. Tapi lihatlah diriku ini. Bukan lagi tepung udang. Manusia! Aku tak bisa dipungut begitu saja dari kampung, di simpan di dalam gedung. Kau, kau orang kota, apa yang kau tahu tentang orang kampung?” (Gadis Pantai:157)
Daerah asal Gadis Pantai dianggap begitu rendah oleh Bendoro.
“… Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai ini. Sama saja. Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka miskin.” (Gadis Pantai:41)

“Bendoro sahaya, ya, Bendoro sendiri”
“Dan aku?”
“Ah, Mas Nganten. Mas Nganten kan orang kampung?” (Gadis Pantai:124)


D.    Ketidakadilan Perempuan Berdasarkan Kelas Sosial
Dalam novel Gadis Pantai, tokoh Bendoro mewakili priyayi Jawa. Bendoro mengambil Gadis Pantai untuk menjadi teman seranjangnya saja. Dan Gadis Pantai disini sebagai perwakilan rakyat kecil yang hidup dalam kelemahan serta tidak berdaya melawan konstruksi social pada masa itu. Bendoro meminang Gadis Pantai hanya dengan sebilah keris dalam kutipan berikut ini.
“ kemarin malam  ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu , kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris. Wakil seseorang yang tak pernag dilihatnya hidup.” (Gadis Pantai: 12)

“Kau pikir apa kami ini? Orang kampung? Orang dusun? Orang pantai yang tak pernah lihat duit?”
“Apa ini semua maksudnya menghina kami?” yang lain lagi menyerang (Gadis Pantai:112)

Ketidakadilan karena status juga sangat mencolok dalam kehidupan perempuan budak. Ketika berkata jujur dan ingin menolong namun malah diusir seperti dalam kutipan berikut.
“Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakkan kaki di rumah ini, jangan pula di pekarangannya”
“Sahaya, Bendoro” (Gadis Pantai:120)

Dengan adanya ketidakadilan seorang berkelas atas dan kelas bawah menjadikan adanya deskriminasi yang menjadikan seseorang tidak layak karena status yang dimiliki tidak sama. Seperti dalam kutipan berikut.
“… itu tidak layak bagi wanita utama, Mas Nganten. Wanita utama cukup menggerakkan jari dan semua akan terjadi. Tapi sekarang ini, sahaya inilah yang mengurus Mas Nganten. Sebelum Bendoro memberi izin, Mas Nganten belum bisa bertemu. Mari sahaya mandikan. Pakai selop itu” (Gadis Pantai:28)

Dan juga perbedaan kelas inilah yang memberikan jurang pemisah sehingga perempuan golongan kelas atas tidak boleh berteman dengan yang tidak sederajat seperti dalam kutipan.
“Dan sekarang Gadis Pantai mulai tertegun. Ia mulai mengerti, disini ia tak boleh punya kawan seorang pun yang sederajat…..” (Gadis Pantai:46)

Ketika seseorang menjadi kalangan bangsawan maka emaknya pun juga berbeda kelas dengan Gadis Pantai.
“Biarlah emak kawani aku di sini, kalau aku tidak boleh tidur di kamar dapur.”
“itu tidak layak bagi wanita utama”
“dia emakku, emakku sendiri mbok”
“Begitulah Mas Nganten, biar emak sendiri, kalau emaknya orang kebanykan, dia tetap seorang sahaya” (Gadis Pantai:58)


E.     Ketidakadilan Perempuan Sebagai Istri
Pada kenyataan sebenarnya perempuan sebagai istri adalah melayani suami, dengan cinta dan kasih saying istri. Dalam novel ini istri hanya diizinkan untuk menurut saja pada Bendoro. Karena ini tidak seperti suami-istri  namun seperti budak dan majikan.
“Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang pada dia?” (Gadis Pantai:14)

Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa sebagai istri hanya menganut oleh kebaikan suami. Jika suami baik istri juga akan baik begitu pula sebaliknya. Disini dijelaskan bahwa tidak adanya keadilan jika suami buruk namun istrinya yang baik akan tetap buruk pula.
“… Dalam beberapa minggu ini setapak demi setapak ia dipimpin untuk mengerti bahwa satu-satunya yang ia boleh dan harus kerjakan ialah mengabdi pada Bendoro, dan Bendoro itu tak lain dari suaminya sendiri” (Gadis Pantai:67)

Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa tugas Gadis Pantai sebagai istri hanya mengabdi layaknya budak kepada Bendoro.
“Perempuan ini diciptakan ke bumi, Mas Nganten, barangkali memang buat dipukul lelaki. Karena itu jangan bicarakan itu Mas Nganten. Pukulan itu apalah artinya kalau dibandingkan dengan segala usaha buat bininya, buat anak-anaknya. Kalau saja Tuhan dulu mengurniakan sahaya anak ...” (Gadis Pantai:95)
Kutipan tersebut menjelaskan sebagai istri harus pasrah dengan apa yang dilakukan suami meski harus dipukul sekalipun. 
“Tapi kau anaknya, kau bukan hanya istriku”
“Sekarang ini kewajiban sahaya adalah mengabdikan diri pada Bendoro. Orangtua sahaya dapat menolong diri sendiri tanpa sahaya, Bendoro” (Gadis Pantai:108)
“Subuh hari waktu ia terbangun, didengarnya suara Bendoro yang sedang mengaji. Suamiku! Ah, Suamiku! Tidak, dia bukan suamiku, dia Bendoroku, yang dipertuanku, rajaku. Aku bukan istrinya. Aku Cuma budak sahaya yang hina-dina” (Gadis Pantai:248)

F.     Ketidakadilan Perempuan Sebagai Ibu
Perempuan sebagai ibu sudah tentu sangat menyayangi anaknya dan rela melakukan apapun agar anaknya bahagia dan hidup lebih baik dari ibunya. Dalam novel ini ada kutipan sebagai berikut.
“Tapi anak ini, anak ini, dia akan bernasib lebih baik dari ibunya. Dan takkan dilahirkan di sebuah kampung nelayan ...”(Gadis Pantai:249)

Adapun ketidakadilan perempuan sebagai ibu adalah ketika anaknya adalah perempuan. Karena dalam kalangan priyayi anak laki-lakilah yang akan didambakan.
“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?”
“Sahaya, Bendoro”
“Jadi Cuma perempuan?” (Gadis Pantai: 253)

Kutipan diatas menjelaskan bahwa Bendoro meremehkan Gadis Pantai yang hanya melahirkan anak perempuan, karena perbedaan gender laki-laki dan perempuan sangat mencolok. Laki-laki bisa melakukan segala hal sedangkan perempuan tidak.
“Sahaya adalah emaknya, sahaya yang hina ini, tuanku. Bagaimana sahaya harus urus dia di kampung nelayan sana?.......”
“Aku tak suruh kau asuh anakku”
“Haruskah sahaya pergi tanpa anak sahaya sendiri, tuanku?” (Gadis Pantai: 257)


Kutipan tersebut menjelaskan bahwa ketidakadilan gender pada perempuan juga terlihat ketika Bendoro menyuruh Gadis Pantai untuk meninggalkan anaknya sehingga Gadis Pantai tidak diperkenankan membawa darah dagingnya sendiri.
“Lupakan bayimu, anggap kau tak pernah punya anak” (Gadis Pantai:258)

Perempuan sebagai ibu yang sangat menyayangi anaknya selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada anaknya. Ia rela kehilangan segalanya. Seperti kutipan berikut.
“Apa yang takkan kuberikan kepadamu, nak? Apa yang takkan kukurbankan? Sekarang, sekarang hakku sebagai ibumu pun kurelakan buat kau!” (Gadis Pantai: 259)
“Kau bijaksana nak, Memang tak patut seorang ibu dibatalkan haknya sebagai ibu. Tidak patut. Tidak patut!...” (Gadis Pantai:260)
“Bayi ini anakku bapak, aku rela diperintahnya” (Gadis Pantai:261)
“… Dia butuhkan dada emaknya, Ah, besok dia takkan minum susu emaknya lagi. Bapak tak mengerti ini?” (Gadis Pantai: 262)

Ketidakadilan perempuan sebagai ibu yang menginginkan kebahagiaan bersama anaknya pun terlihat dengan adanya kutipan yang menerangkan bahwa Gadis Pantai dituduh maling, maling anaknya sendiri seperti berikut ini.
“Semua kutinggal di kamar. Aku Cuma bawa anakku sendiri. Cuma anakku sendiri” kakinya menyepak tapi bujang-bujang lain mendesak
“Maling!” bentak Bendoro (Gadis Pantai: 264)

Kesimpulan
Terjadinya ketidakadilan gender dalam masyarakat disebabkan karena nilai budaya yang sudah mengakar dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, terutama di Indonesia. Dengan adanya ketidakadilan inilah menyebabkan adanya deskriminasi terhadap perempuan seperti kekerasan, pelecehan dan beban kerja yang berat bagi perempuan
Dalam novel Gadis Pantai, Pramoedya menunjukan kelemahan akar budaya yang salah, dimana dalam konstruksinya perempuan menjadi korban utama nilai-nilai yang sudah dianut ini.  Bentuk-bentuk ketidakadilan dalam novel ini menuturkan betapa Gadis Pantai tidak berdaya melawan takdir yang menimpanya ketika dinikahi sementara oleh Bendoro yang merupakan Priyayi yang kaya raya dan berpendidikan

Daftar Pustaka
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera.








 

Riska Febryanti © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor