Kamis, 28 Januari 2016

Kenangan itu nyata adanya

Diposting oleh Riska Febryanti di 07.32 0 komentar
Malam ini, kenangan itu muncul lagi menyambar dipikiranku, haruskah kubiarkan pergi atau kuizinkan menggeledahi seisi kepalaku akan kenyataan yang telah berlangsung lama itu?

Kupaksa pejamkan mata, namun malam menolaknya seolah ingin aku kembali terhanyut dalam kenangan itu.

Bukan kenangan syahdu, hanya begitu kuat kekuatan yang disebut sebaik-baiknya penyimpan.

Sebutir kenangan mampu merusak jutaan sel-sel otak yang bersikeras melupakannya, layaknya hukum pareto 80/20 hasil tidak akan pernah menghianati usaha. Begitu pula usaha menyimpan sebuah kenangan.

Mengapa harus angkasa? Apa karena adanya semesta? Angkasa dan semesta saling berkaitan begitu pula kenangan dan masa depan.

Kamis, 14 Januari 2016

pernahkah?

Diposting oleh Riska Febryanti di 08.19 0 komentar
Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena paras dan tingkah lakunya
Namun karena tatapan yang teduh dan senyum yang menentramkan.

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena harkat dan martabatnya
Namun karena akhlak dan usahanya menjadi lebih baik.

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena tata ucap dan sopan santunnya

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan terhadap angin malam yang seolah tersenyum kecut melihatmu rindu akan dia

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena begitu menginginkannya namun karena bibir berkata "enggan"

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena dia begitu lembut dan membuatmu berarti

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan ketika hujan turun dan payung merah itu siap menjadi tamengmu menerobosnya.

Pernahkah kau jatuh cinta?
Bukan karena kayu lapuk yang terbakar habis oleh api dan menjadi abu

Pernahkah kau jatuh cinta.
Dengan dia, kau merasa seolah bahwa ingin berusaha menyayanginya selayak apa telah dia perbuat.
kau merasa tak ingin mengecewakannya, tak ingin memberi luka lagi, tak ingin memerangi hatimu untuk waktu yang terlalu lama.

Kita terlalu asing, terlalu banyak perbedaan.
begitu sering aku menggunakan setiap alasan yang pada hakikatnya tak mengandung arti
karena setiap alasan bagimu adalah pengecualian

dan aku, pernah.

Sabtu, 09 Januari 2016

sebetulnya ia manusia, ataukah dewa?

Diposting oleh Riska Febryanti di 04.14 0 komentar
kuterperonjak dari tidurku, kebuka pintu dan segala mencari sudut penjuru seisi rumah ini, namun tak kutemui sosoknya. kulihat diluar rumah air tak henti-hentinya menjatuhkan dirinya membawa keberkahan dimalam ini, hujan... hening...
aku tersadar sudah lebih dari satu jam yang lalu adzan maghrib berkumandang, kuambil payung dan dengan gontai mataku menyapu setiap jalan yang kulewati dengan mengangkat sebagian rokku takut terkena genangan air yang mampu membatalkan wudhuku..

tiba-tiba kakiku kaku, seolah tak ingin beranjak dari tempat aku berdiri, air mata tiba-tiba menetes dengan sendirinya tanpa aku menyuruhnya keluar dari mata ini. kutemui sosok yang kucari dengan berkalung sorban dan mengenakan peci ia sedang bercerita dan seolah menjelaskan sesuatu kepada beberapa orang anak-anak yang duduk didepannya, dengan tertawa dan gerakan tangan serta mimik wajah yang memperlihatkan ekspresinya seolah ia hanyut dalam cerita dan pengetahuannya. ia mengajar anak-anak itu mengaji.

aku berdiri, lama. kuyakinkan bahwa itu dia. ayahku. dengan rambut yang mulai memutih dan guratan keriput tergambar jelas didahinya. tak henti-hentinya mulutku ini bertasbih. aku tercengang, aku bangga, dan aku terharu, begitu sulit jalan yang telah ia lewati pasca ibuku meninggal. aku tau dalam diam sebenarnya ia menderita, aku tau begitu besar cintanya, pengorbanannya,..

kuusap air mataku yang bercampur dengan air hujan, kubalikkan badan dan kembali kerumah dengan kembali sempoyongan dan tak bisa kukondisikan air mata yang jatuh ini, begitu luar biasa ciptaan-Mu, sebetulnya benarkah ia manusia? manusia yang selalu dapat memanusiakan manusia. manusia yang selalu menjelma sebagai makhluk lain didalam sanubariku yang selalu menghormati dan menyayanginya.

sebetulnya ia manusia, ataukah dewa?

Sabtu, 02 Januari 2016

Konspirasi Kotor

Diposting oleh Riska Febryanti di 20.06 0 komentar
Kategori : Cerpen Sejarah
Penulis : Sesi Anita Irawati
Pagi itu, 25 September 1965, seorang lelaki tergopoh-gopoh memasuki sebuah rumah berdinding bilik. Setelah meneguk segelas teh yang sudah dingin karena telah disiapkan sejak subuh oleh sang istri, ia bergegas mengganti sandalnya dengan sebuah sepatu kulit murahan, bermaksud hendak pergi lagi, kali ini sambil membawa sebuah map merah berisi entah apa.
"Mas?" Sri, istrinya, hanya bisa memandangnya dengan tatap penuh tanya.
Lelaki yang dipanggil mas itu menoleh. Hanya sekilas lalu kembali menekuni pekerjaannya memakai sepatu. Masih dengan gegas yang sama.
"Aku ada urusan penting, Sri, urusan organisasi. Ati-ati neng umah...jaga awakmu yo1!" Lelaki itu menyentuh pucuk kepalanya sekilas lalu melesat pergi.
Itulah hari terakhir Sri bisa menatap wajah suaminya. Suami yang baru dua bulan memberinya gelar lain sebagai ibu Sunardi. Bukan lagi Sri Parwati. Dan ia, yang sejak kecil diajari sang ibu untuk tak banyak tanya pada apa pun urusan sang suami, hanya bisa melakoni perannya sebagai istri berbakti, manut, tak boleh bertanya, dan pantang mengatakan tidak. Ia tak tahu apa-apa tentang organisasi, entah apa yang nampak sangat dicintai suaminya itu. Ia ingin tahu, tapi tak punya daya apa pun. Pernah sekali ia memberanikan diri bertanya, tapi suaminya menjawab dengan nada amarah.
" Sri, kowe ra sah melu-melu, pokoke aku nyambut gawe kanggo wong cilik.2"
Dan itu cukup bagi Sri untuk memutus rasa ingin tahunya. Ia mulai berusaha menutup mata dan telinga dengan apa pun yang dilakukan suaminya. Lagipula pekerjaannya sebagai penjahit kecil-kecilan selain guru SR di dusun kecil di pelosok Kediri itu sudah sangat menyita perhatian.
Harapan Sri sederhana saja, apa pun yang dilakukan suaminya, tidak berbahaya bagi mereka. Di dunia, maupun di akhirat.
Hari itu 1 Oktober 1965, tak seperti biasanya, kegiatan sekolah dihentikan sebelum waktunya. Kepala sekolah mendatangi setiap kelas dan mengumumkan bahwa ada peristiwa genting di Jakarta sehingga sekolah harus dikosongkan. Juga tak boleh keluar dari rumah. Sri dan kawan sesama guru bergegas pulang meski dengan setumpuk pertanyaan. Karena tak ada penjelasan sama sekali tentang peristiwa yang disebut genting itu.
Sri menghitung-hitung dalam hati sambil menyandarkan sepeda jengkinya dipohon seri depan rumah. Berarti sudah enam hari Mas Nardi pergi dan tidak ada kabar. Sri mendesah, ia cemas. Ada perasaan ngelangut, linglung. Dan itu aneh. Rasa ini seharusnya tidak ada. Toh suaminya sudah sering meninggalkannya untuk urusan organisasi.... Entah apa? Mas Nardi tak pernah memberinya keterangan apapun.
Ia baru selesai berganti pakaian ketika didengarnya suara gaduh dihalaman, memanggil manggil nama suaminya. Setengah berlari Sri menghambur keluar, namun di pintu ia bertabrakan dengan serombongan orang berseragam tentara.
"Mana Sunardi?!!"
"Geledah! Cari sampai ketemu!"
Mereka sama sekali tak memberi Sri kesempatan untuk bertanya. Para tentara itu merangsek ke dalam rumahnya, mengobrak-abrik apa saja, mengeluarkan semua isi lemari. Sri betul-betul tak mengerti. Namun, belum sempat ia berpikir lebih jauh, dua orang tentara membetot tangannya, lalu mengikat dan mendorongnya hingga ia jatuh terduduk di halaman tanah rumahnya.
"Kamu istrinya Sunardi?!!"
Sri mengangguk dengan gemetar.
"Mana suamimu? Jangan coba-coba bohong!"
"Sungguh, saya ndak tahu, suami saya pergi sejak seminggu lalu..."
"Bohong! Kamu tahu? Suamimu itu PKI. Kamu juga pasti anggota Gerwani yang ikut membunuh jenderal-jenderal kami...!"
Sri terlongo, ia sama sekali tak mengerti maksud ucapan itu.
"Dasar perempuan sundal, pembunuh, pelacur!"
PLAK! Lalu pukulan bertubi-tubi menghantam wajahnya, menjambak rambutnya.
"Bunuh saja! Bunuh! Bakar rumahnya!"
Suara itu gegap gempita, dan ucapan itu bukan main-main, sebentar saja api sudah membumbung tinggi dan dengan cepat membakar hangus rumahnya yang hanya berdinding bilik. Sri terlongong dalam cengkeraman tangan kekar salah seorang tentara. Namun mereka tidak membunuhnya. Mungkin belum.
Sri sudah tak mampu menangis. Takut dan bingung menguasainya.
Kemudian tanpa banyak bicara, mereka menaikkan Sri ke dalam sebuah truk. Melemparnya begitu saja seolah tubuhnya sebuah karung barang bekas. Dalam bak truk terbuka itu, ternyata sudah banyak orang. Laki-laki dan perempuan, semua dengan kondisi sama. Tangan terikat dan penuh luka bekas pukulan. Sri ingin bertanya, tapi nampaknya, ketakutan membuat mereka lebih memilih untuk diam.
Mereka dibawa ke sebuah pos polisi dan ditempatkan di sebuah ruangan. Lelaki dan perempuan dipisah. Namun berjejal-jejal saking banyaknya. Kepala Sri penuh dengan pertanyaan, tapi suasana yang tegang dan mencekam membuat mereka tak berani membuka suara. Lelah fisik dan batin membuatnya nyaris trtidur ketika suara kerangkeng besi yang berat mengagetkannya.
"Mana istri Sunardi? Sekertaris CC PKI 3?" seorang tentara berteriak.
Mereka semua terdiam. Sri ketakutan.
"Kalau tidak ada yang mengaku, kalian semua akan saya bunuh!"
Mereka saling berpandangan. Takut takut, Sri maju. Ia harus menyerahkan diri, tak mungkin mengorbankan orang lain.
Tentara itu membawa Sri ke sebuah ruangan. Di sana ada setengah lusin lagi tentara, menunggu mereka dengan bedil terhunus.
"Ini dia, pembunuh jenderal-jenderal!" kalimat itu menyambutnya.
"Pembunuh? Siapa yang saya bunuh?" Sri memberanikan diri bersuara.
"Dasar sundal...! Pura-pura tidak tahu!"
PLAK! PLAK!
Pukulan itu kembali bertubi-tubi. Sungguh tak mampu membuatnya bisa berpikir tentang apa yang terjadi. Selanjutnya, Masya Allah, kejadian yang tak pernah Sri bayangkan terjadi. Siksaan di luar batas peri kemanusiaan, keji dan hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tak bertuhan. Sri hanya bisa menjerit dalam hati, karena ia tahu tak ada artinya jika jeritan itu ia bahasakan. Malah akan lebih menyenangkan buat mereka. Ditahannya sakit sambil terus menyebut nama Allah, sampai suatu ketika, ketika sakit itu tak tertahankan lagi, ia terkapar dengan kesadaran yang tercerabut sempurna.
***
Sri terbangun dengan mata berkunang-kunang. Bibirnya perih dan masih merembeskan darah. Wajahnya bengkak dan penuh lebam. Di atas itu semua, ia merasa perih yang amat sangat di bagian vital tubuhnya. Arus listrik entah berapa ratus volt yang terakhir kali ia rasakan menyetrum tubuhnya, tepat di bagian-bagian vital. Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi, sampai akhirnya terbangun dalam sel. Terbaring dengan pakaian yang sudah tercabik-cabik. Sri sangat malu. Beberapa wanita menatapnya iba. Salah seorang tengah mengoleskan minyak kelapa di tubuhnya yang memar-memar.
"Ada apa ini?" Untuk pertama kalinya Sri membuka suara. Sejauh ini, meski siksaan telah bertubi-tubi menghantamnya, ia sama sekali tak mengerti apa yang terjadi. Tentara-tentara itu hanya memaksanya mengakui bahwa ia adalah anggota Gerwani, gerakan simpatisan PKI yang mendalangi pembunuhan para jenderal di Jakarta..
"Sabar, Nduk..." Perempuan yang mengoleskan minyak kelapa tersenyum lemah.
"Tapi yo aku ra ngerti, Mbak..."
"Kita semua juga tidak mengerti apa yang terjadi. Sebelum ditangkap saya dengar ada pembunuhan para jenderal di Jakarta dan PKI yang dituduh mendalanginya. Suami sampeyan orang PKI to?"
Sri termangu, jadi?
"Suami saya juga anggota BTI4 dan saya baru seminggu menjadi anggota Gerwani. Tapi saya sama sekali tidak mengerti kenapa saya dituduh ikut merencanakan pembunuhan para jenderal hanya karena saya Gerwani. Padahal organisasi kami hanya mengajarkan baca tulis serta keterampilan kaum perempuan. Tapi pemerintah menuduh Gerwani dididik oleh PKI untuk membunuh dan menyayat nyayat para jenderal..."
Sri terduduk lemas. Jadi itu masalahnya? Dia adalah istri seorang petinggi PKI, dan baru baru ini telah terjadi pembunuhan para jenderal dan PKI adalah dalangnya. Benarkah? Lalu mengapa dia ikut disiksa? Padahal ia tak tahu apa-apa. Di mana suaminya kini pun ia tak tahu.
Mas Sunardi! Apa yang terjadi padanya?
Sri meneteskan air mata. Ia takut, bingung, dan sedih. Padahal itu baru malam pertama mereka dalam sel, ia telah mengalami penyiksaan luar biasa. Sri tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka esok dan esoknya lagi.
***
Sudah seminggu Sri dan lebih dari dua puluh wanita lain berada dalam sel, tanpa diadili. Mereka hanya diwajibkan menjawab semua pertanyaan para interogator dengan sepatah kata ya. Jika berani membangkang, tak segan-segan pukulan, tendangan, bahkan sengatan listrik menghantam tubuh. Beberapa tak kembali setelah dibawa tentara ke ruang interogasi. Lebih dari itu, setiap habis disiksa secara fisik, mereka juga mendapatkan siksaan lain berupa pemerkosaan!
"Bon malam" adalah istilah yang mereka pakai untuk mengambil para wanita untuk diinterogasi. Dan yang lebih menyakitkan, semua itu dilakukan oleh bangsanya sendiri!
Air mata Sri sudah kering. Yang ada di benaknya kini hanyalah bagaimana caranya supaya ia bisa melarikan diri. Tapi itu nampaknya mustahil. Puluhan tentara berjaga di seantero sel. Tak ada celah.
"Kita harus melawan, Mbak..." Sri berbisik pada wanita yang menolongnya tempo hari, yang kini diingatnya bernama Rusminah.
Wanita itu menggeleng dengan sorot putus asa.
"Tidak mungkin, Sri...mereka..."
Ucapan itu terhenti karena tiba-tiba tiga orang tentara datang dan membawa tiga orang perempuan, termasuk Sri. Dengan tubuh yng masih sangat lemah, Sri terseok-seok dalam seretan tangan tangan kekar itu.
Mereka dibawa kembali keruang interogasi. Namun ternyata di sana bukan hanya ada tentara, tapi beberapa lelaki yang menenteng mesin tik dan kamera. Sepertinya wartawan. Allah, apalagi yang akan mereka lakukan?
Sebelum tiba di dekat para wartawan itu, seorang tentara berbisik pada mereka.
"Ingat, jawab semua pertanyaan wartawan itu dengan ya saja. Kalian tahu apa yang akan terjadi jika kalian membangkang!"
Mereka didudukan di atas meja, dengan tubuh separuh terbuka karena pakaian-pakain yang telah tercabik. Sementara itu, puluhan lelaki, tentara dan wartawan, mengelilingi mereka. Segera saja, cahaya kamera menyorot wajah-wajah mereka. Sri merasa harga dirinya benar-benar berlutut di angka nol. Tapi, masih adakah gunanya membicarakan harga diri?
"Ini dia, perempuan-perempuan pelacur pembunuh para jenderal. Anggota gerakan merekalah yang menyilet-nyilet para jenderal kita, menari-nari telanjang dan memotong alat vital para jenderal kebanggaan kita."
Sri menunduk. Hatinya menjerit-jerit. Ia ingin menyangkal semua itu, tapi ia tahu apa yang akan diterimanya. Pelecehan? Siksaan? Atau bahkan... kematian?
Kematian? Bukankah itu jauh lebih baik? Apalagi ia mati untuk mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Juga membela harga dirinya. Ia sungguh tak tahu apa apa. Bahwa ia bersuamikan seorang anggota PKI, itu diluar sepengetahuannya. Di luar keinginannya. Dan apapun yang dilakukan suaminya, ia sama sekali tak tahu.
Tidak adakah peradilan untuknya? Peradilan yang sesungguhnya. Bukan interogasi sepihak.
"Jadi kamu istri sekertaris CC PKI, Sunardi, ha?" seorang wartawan menanyainya dengan geram. Tuhan, bukankah seharusnya ia pihak yang netral? Apakah ia juga telah menjadi budak kekuasaan?
"Jawab!! " seorang tentara membentaknya.
"Ya "
"Bagus, jadi benar kalian merencanakan pembunuhan keenam jende ral, menyayat nyayat tubuh mereka lalu melemparkannya ke sumur tua? "
Sri menengadahkan kepala. Rasa sakit yang amat sangat ditubuhnya masih belum seberapa dibanding siksaan batin dan mentalnya. Ia sama sekali tak rela dituduh membunuh para jenderal. Ia mencintai negara ini. Lagipula ia hanya ibu rumah tangga biasa. Bagaimana bisa ia dituduh terlibat pembunuhan keji itu?
"Tidak!! "
Tiba-tiba kata itu melesat dari mulutnya. Semua orang di ruangan tertegun. Terlebih kedua wanita tahanan yang diseret bersamanya. Mereka menunduk ketakutan.
"Dasar sundal! Pembunuh!! Pelacur!"
"Tidaaak!" Sri kembali berteriak, kali ini lebih lantang. Sudah kepalang basah, ia bertekad menyelesaikannya saat ini juga. Ia hanya punya dua pilihan. Mengikuti kemauan mereka untuk mempertahankan hidupnya dalam kehinaan, atau mempertahankan harga diri dan kebenaran yang mungkin berujung pada kematian.
"Saya tidak pernah membunuh para jenderal! Kami tak pernah membunuh!"
Itu adalah kalimat terakhir yang dapat ia perdengarkan. Sesudahnya, sebuah hantaman keras menghantam batok kepalanya, memberinya kegelapan sempurna.
***
Nun jauh di sana, di pusat ibu kota, seorang lelaki berperawakan gagah, dengan setelan perwira yang dipenuhi tanda kepangkatan, tengah menerima telepon.
"Ternyata tidak sesulit yang saya duga, Sir..."
"Tentu saja." Seseorang di ujung telepon lain menyahuti, "Sudah saya bilang, cara saya akan lebih efektif. Kita gunakan orang dalam untuk menumbangkan kekuasaan. Tak perlu mengotori tangan sendiri. Hanya memerlukan beberapa martir. Maka Anda lihat hasilnya. Anda tak perlu lagi mengasuh Jenderal-jenderal yang Anda sebut tak berguna itu, rakyat tak percaya pada pemerintah, PKI yang dituduh mendalangi akan segera ditumpas, dan Anda tinggal memetik hasilnya. Tak ada lagi yang menghalangi Anda untuk mengambil alih kekuasaan. Bahkan saya yakin, rakyat Anda akan menganggap aAnda sebagai dewa penyelamat. Selanjutnya, tinggal membuat buku-buku sejarah sebagaimana Anda inginkan..."
Mereka tertawa.
"Tentu saja, saya pun menunggu hasilnya. Jangan lupakan janji-janji Anda, membiarkan bangsa kami mengeksplorasi kekayaan bumi anda. Fifty-fifty. Dengan jalan halus tentu saja. Saya jamin, tak akan ada yang berani mengusik ketenangan Anda nantinya."
"Deal...!!" Telepon ditutup. Sang perwira tersenyum puas.
Di sebuah benua di belahan bumi yang lain, sepotong tangan ikut meletakkan gagang telepon. Lalu tersenyum, dengan ekspresi puas yang sama.



 

Riska Febryanti © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor